Tampilkan postingan dengan label Heartwarming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Heartwarming. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Maret 2025

Review Buku: The Healing Season of Pottery dari Yeon Somin



      Pernah nggak sih, kamu berada di situasi yang capek buat ngapa-ngapain, tapi pas lagi nggak ngapa-ngapain ya capek juga? Inilah yang dialami Jungmin, seorang penulis broadcast yang mengalami  burnout, lalu memutuskan resign.

     Dikira, setelah nggak ngapa-ngapain Jungmin bakal sembuh. Tapi ternyata, dia malah makin stres. Udah nggak ada pemasukan lagi, nggak punya rutinitas yang jelas, dan hidup sendirian di desa pula. Alhasil, setelah setahun nganggur dia akhirnya memutuskan untuk nyari inspirasi dengan jalan-jalan di lingkungan desa. Di tengah perjalanan itu, dia niatnya mampir di sebuah kafe. Eh pas masuk, ternyata itu bukan kafe biasa, melainkan tempat workshop pottery.

Selasa, 17 September 2024

Bersihkan Trauma Pikiran di Marigold Mind Laundry!



      Trauma yang tersimpan di otak memang akan menghambat diri untuk bertumbuh. Sebab rasa trauma ini bikin kita takut dan nggak percaya diri. Oleh karenanya, kita perlu "bersihin" trauma agar bisa menikmati hidup sepenuhnya. Di buku yang berjudul Marigold Mind Laundry dari Jungeun Yun, kita akan melihat gimana orang-orang berusaha membersihkan traumanya, lalu bergerak maju.

Sinopsis Buku Marigold Mind Laundry dari Jungeun Yun

     Di sebuah desa bernama Marigold, datang seorang perempuan misterius bernama Jieun. Jieun sendiri merupakan perempuan yang dikutuk, karena di masa lalu dia tidak bisa mengontrol kekuatannya sehingga mengakibatkan orangtuanya lenyap. Sebagai hukumannya, dia harus hidup ribuan tahun untuk mencari makna terkait kekuatan yang dimilikinya.

     Desa Marigold merupakan desa yang indah dengan pemandangan matahari yang menawan. Di sini, Jieun akhirnya memutuskan untuk membuka jasa Mind Laundry, di mana orang-orang yang memiliki kenangan buruk di masa lalu, bisa memintanya untuk menghapus kenangan tersebut. Nah, ke mana kenangan-kenangan tersebut? Kenangan yang dilupakan akan dipindahkan ke kaos putih yang digunakan saat "ritual". Semakin banyak kenangan yang ingin dihapus, maka semakin banyak noda seperti kelopak bunga. Nah setelahnya, kaos ini akan dijemur, lalu noda tersebut perlahan akan luntur.

     Ada beberapa orang yang datang ke Marigold Mind Laundry ini, di antaranya seorang film-maker yang frustrasi karena merasa gagal, lalu seorang perempuan yang terlibat di hubungan toxic, ada seorang influencer yang namanya tercoreng setelah promosi produk abal-abal, selanjutnya seorang perempuan yang menjadi tidak tau kalau dirinya adalah selingkuhan, dan yang terakhir seorang kurir yang dulunya di-bully dan dibanding-bandingkan dengan kakaknya.

Setiap orang punya cerita,

     Di setiap kisah, kita akan ditunjukkan sudut pandang lain dari kehidupan. Jieun selaku pendengar pun tidak menghakimi alasan orang-orang melakukan tindakan yang mungkin bagi sebagian dari kita terasa salah. Selalu ada bagian dari masa lalu yang menyebabkan mereka melakukan itu, entah karena tidak punya pilihan, atau karena tidak ada yang mengajari sebelumnya.

Kesan terhadap Buku Marigold Mind Laundry dari Jungeun Yun

     Sebagai pecinta buku yang "no plot, just vibes", Marigold Mind Laundry ini sudah cukup memenuhi kriteria yang aku cari sih. Di antaranya: premis cerita menarik, cerita yang ringan, punya pesan bagus, dan vibes yang heart-warming. Bonusnya, latar tempatnya ada di sebuah desa dan penulis jago banget mendeskripsikan, sehingga bikin aku bisa ikutan bayangin dan merasa damai pas bayangin desanya.

     Premis cerita menarik, yakni pelanggan diberi kesempatan untuk menghapus memori luka di masa lalu. Tapi sebelum ritual "penghapusan" dimulai, pelanggan yang ingin menghapus pikirannya akan diberi tahu konsekuensinya. Makanya ada yang akhirnya tetap menghapus memori, atau menerima bahwa memori penuh luka itu menjadi bagian dari hidup mereka.

     Sebenarnya, proses penghapusan memori di buku ini tuh menurutku serupa dengan meditasi. Di mana saat meditasi, kita akan diminta untuk membiarkan pikiran kita lewat, entah baik atau buruk, di mana hal ini akan melatih resiliensi kita dalam menerima keadaan yang telah terjadi pada kita di masa lalu. Di buku ini, tujuan akhir pelanggan ya supaya mereka bisa menerima hidup, entah dengan menghapuskan memori, atau menerima memori itu sebagai bagian dari hidupnya.

     Cerita yang ringan dengan pesan hidup yang bagus. Tokoh yang melakukan "pencucian pikiran" di sini adalah orang-orang yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Seperti, influencer yang hidupnya terlihat mewah, padahal di balik itu semua, ada beban yang harus dibayar. Atau seorang kurir yang sering ngantar barang ke rumah kita, itu juga punya batasan mental tertentu, jadi perlakukan mereka dengan baik, jangan asal bentak-bentak. Kita nggak tahu, mereka punya masalah apa, baik di masa lalu maupun masa sekarang.

     Vibes heart-warming. Di sini yang paling mendukung adanya vibes ini adalah kebijaksanaan Jieun selaku pemilik jasa mind laundry. Dia selalu menjadi pendengar yang baik buat orang-orang yang datang ke tempatnya, tidak menghakimi, bahkan memberikan validasi yang baik atas perasaan pelanggan, tanpa membenarkan tingkah mereka yang mungkin kurang tepat. Selain itu, latar tempat di desa juga semakin menambah kesan heart-warming ini. Soalnya, Desa Marigold memang digambarkan asri dan damai banget. Ala-ala Ghibli lah bahasanya. Oh iya, ada ilustrasi cantik juga sih!

     Kalau tadi sudah bahas kelebihannya, sekarang bahas kekurangannya. Menurutku, penjabaran cerita di setiap tokohnya lumayan slow-paced ya. Entah yang terlalu lambat atau terlalu banyak narasi, jadi kesannya kadang bikin bosen. Tapi balik lagi, bisa aja buku ini memang didesain untuk dibaca pelan-pelan. Buat avid reader, mungkin ngerasa buku ini terlalu berbelit-belit, karena alurnya nggak sat set meskipun udah ketebak. Tapi buat slow-reader, buku ini malah seru banget untuk dinikmati. Apalagi kalau memang suka cerita heart-warming.

     Sebelum menutup ulasan ini, sekadar informasi kalau aku baca ini versi Bahasa Inggris dari ARC Netgalley. Dan baru akan terbit tanggal 3 Oktober 2024 nanti. Terima kasih untuk Netgalley dan Random House UK, Transworld Publisher!

     Nah, itu tadi Review Buku Marigold Mind Laundry dari Jungeun Yun. Terima kasih buat yang udah baca. Oh iya, kira-kira, Penerbit Baca atau Penerbit Haru bakal terjemahin buku ini nggak ya?

Kamis, 12 September 2024

Review Buku: We'll Prescribe You A Cat dari Syou Ishida



      Beberapa waktu lalu, tepatnya akhir Agustus, kucing-kucingku mulai meninggal satu per satu. Karena ini adalah pengalaman pertama melihara kucing, jadi aku bener-bener pertama kali ngerasain kehilangan kucing yang biasanya disayang-sayang. Nggak pernah nyangka bakal sesedih ini. Alhasil, aku jadi keingat salah satu buku yang baru terbit bulan Agustus lalu tentang kucing, judulnya We'll Prescribe You A Cat dari Syou Ishida. Kenapa ngingetin? Karena di buku ini beneran nunjukin gimana kucing bisa sebagai alat untuk "terapi" kejiwaan. Sebagaimana kucing-kucingku juga, meskipun mereka nyebelin tapi pas mereka sering bikin aku terhibur di tengah kehidupan yang keras ini :').

     Balik lagi ke We'll Prescribe You A Cat dari Syou Ishida, kali ini aku ingin menulis ulasan tentang buku ini. Jadi buat yang suka kucing, wajib banget baca ini, apalagi sampul terbarunya warna hijau mint dan super menarik!

Tentang Buku We'll Prescribe You A Cat dari Syou Ishida

     Buku ini berkisah tentang sebuah klinik kejiwaan misterius, yang dipegang oleh dokter Nike dan suster yang bernama Chitose. Di mana setiap orang yang konsultasi di sana akan dititipin kucing untuk dijaga selama beberapa hari. Setiap pasien tentunya akan diberikan stok makanan dan perlengkapan dasar kucing. Nah, buku ini dibagi menjadi beberapa cerita, yang masing-masing membahas tentang 1 pasien yang datang ke sana.

     Kisah pertama dari seorang pemuda yang udah capek dengan tekanan kerja kantornya. Ketika ke klinik kejiwaan ini, dia berharap akan dapat solusi terapi, tapi malahan dia diberi kucing yang bikin dia dipecat dari kantornya. Jadi seolah kucingnya ini nyuruh si pemuda buat keluar dari kantor toxic itu kalau emang udah ngerasa capek. Ini lucu sih, tapi emang kantornya tuh jelek banget sistemnya (meskipun bonafit), soalnya masih banyak gratifikasi dan senioritas, yang bahkan bikin karyawannya banyak yang mundur. Nah, setelah dipecat karena "ngerusak" dokumen, apa yang akan si pemuda ini lakukan? Mau nyari kerja di mana lagi mengingat biaya hidup tetap lanjut meskipun dia dipecat?

     Kisah kedua dari seorang anak kecil yang ngalamin drama di sekolahnya, tapi si ibu sering menyepelekan perasaan si anak. Akhirnya si anak ngotot ngajak ibunya untuk pergi ke klinik kejiwaan ini. Saat dikasih kucing oleh dokter Nike, si ibu ngerasa ada de javu terkait kucing yang dititipin itu.

     Kisah ketiga dari seorang orang paruh baya yang kesel dengan manajer baru di kantornya. Orang ini kesel karena si manajer adalah seorang perempuan yang usianya lebih muda dari dia. Ditambah, si manajer ini suka memuji pegawai lain yang bikin dia ngerasa "risih". Dampaknya, dia sering kepikiran sampai kebawa mimpi dan sering ngerasa halu dengerin suara si manajer ketawa. Alhasil pas datang ke klinik, malah dititipin kucing dengan syarat, si orang ini harus tidur bareng si kucing.

     Kisah keempat dari seorang designer tas yang ingin nyari keseimbangan emosional dan pekerjaan karena dia terkenal sangat perfeksionis sampai bikin rekan kerjanya mundur karena ngerasa bahwa si designer ini sulit dipenuhi ekspektasinya.

     Kisah kelima dari seorang geisha yang rindu dengan kucing yang pernah diadopsi, tapi tiba-tiba menghilang. Nah, karena si kucing telah hilang bertahun-tahun, akhirnya bikin si geisha ini gamau dititipin kucing pas dateng ke klinik kejiwaan ini.

     Yang jadi misteri, siapa sih dokter Nike dan suster Chitose itu? Mengapa mereka selalu nitipin kucing ke pasien yang datang berobat? Dan pas tau jawabannya, aku jadi ikutan sedih dengan masa lalu mereka.

Kesanku terhadap Buku We'll Prescribe You A Cat

     Secara konsep cerita, aku suka banget buku ini. Apalagi ini latarnya di Kyoto, salah satu kota di Jepang yang punya tempat tertentu di hatiku (ceilah). 

     Konsep cerita yang seolah ingin nunjukkin ke kita, bahwa kucing tuh therapeutic. Terutama dengkurannya yang bisa bikin hati tenang, terus badannya yang hangat saat dipeluk, atau bulunya yang lembut saat dipegang. Bahkan orang yang nggak suka kucing, lama kelamaan bakal luluh sendiri dengan kucing. Istilahnya, "kalau kamu nggak cocok pelihara kucing, coba lagi sampai kamu cocok!".

     Penggambaran latarnya juga bikin aku kebayang dengan suasana Kyoto yang tenang dan tradisional. Apik banget!

     Tentang masalah yang diusung, sebenarnya bukan masalah yang berat. Hanya saja, masalah tiap tokoh itu masalah umum yang sering kita jumpai tapi seringkali dianggap sebelah mata. Seperti, masalah kantor toxic yang beban kerjanya nggak masuk akal, biasanya kan kita bakal dibilangin "namanya kerja ya susah, udah untung dapet gaji". Alhasil, banyak orang yang nggak tau batasan: sampai mana kadar normal dari sebuah kantor yang toxic?

     Selain itu, masalah seperti meremehkan perasaan anak kecil. Sebagai orangtua, sudah seharusnya kita tidak memandang sebelah mata perasaan anak kecil. Jika dari kecil mereka sering dibilang, "halah, cuma gitu aja, jangan banyak drama deh", pas udah besar, ya mereka jadi sulit memvalidasi perasaan dan pikiran mereka sendiri.

    Nahh, jadi buat siapa sih buku ini? Buku ini cocok buat kamu pecinta kucing atau pecinta sastra Jepang yang heart-warming. Bukunya ringan, kira-kira mirip dengan vibes Sweet Bean Paste, Days in Morisaki Bookshop dan A Cat Who Saved Books. Oh iya, buku ini masih dalam versi Bahasa Inggris ya. Berdoa yuk, siapa tau ada penerbit Indonesia yang akan terjemahin ke Bahasa Indonesia :D.

     Demikian ulasan buku dariku, terima kasih Netgalley dan Random House UK Publishing atas soft copy ARC-nya. Terima kasih juga buat yang udah baca!

Rabu, 21 Agustus 2024

Review Buku: The Lantern of Lost Memories dari Sanaka Hiiragi


      Sering denger kalau seseorang itu meninggal, maka sebelum mereka benar-benar "dicabut nyawanya" akan ditampilkan memori terbaik masa hidupnya. Nah, salah satu literatur Jepang yang aku baca punya konsep cerita yang mungkin terinspirasi dari rumor-rumor tersebut. Judul bukunya adalah The Lantern of Lost Memories dari Sanaka Hiiragi. Akan terbit di tanggal 22 Agustus 2024 untuk versi Bahasa Inggrisnya.

     Buku ini berkisah tentang studio foto yang menjadi tempat pertemuan hidup dan mati, di mana di studio foto itu ada penjaga yang akan melayani bernama Hirasaka, seorang pria misterius yang "menunggu" seseorang untuk membantunya mengingat 

     Hirasaka di sini akan mengajak orang-orang yang telah meninggal untuk memilih 1 foto di setiap tahun ketika mereka hidup. Jadi, semisal usia mereka 93, ya berarti harus memilih 93 foto. Lalu, foto-foto tersebut akan dipasang di sebuah lentera yang kemudian akan menyajikan kenangan mereka selama hidup.

     Nah, buku ini ada 3 cerita. Kisah pertama dari seorang perempuan yang semasa hidupnya sangat passionate di bidang pendidikan dan di akhir hidupnya, dia merasa bersyukur karena telah memberikan manfaat untuk orang lain lewat sekolah yang didirikannya, detail ceritanya menarik banget, soalnya bakal bahas gimana perjuangannya ketika mencoba mempertahankan sekolah ketika ada bencana. Memori yang menurutnya dulu sedih, ternyata ketika dilihat lagi lewat clip yang ada di lentera itu, terasa manis.

     Kisah kedua, berasal dari seorang Yakuza yang merasa bahwa hidupnya selama ini adalah "bencana", karena dia selalu melakukan banyak kejahatan. Awalnya, dia enggan ketika diminta untuk memilih foto, karena dia sudah yakin, tidak ada foto bagus tentang dia. Tak disangka ketika dia dipaksa memilih foto, dia menemukan bahwa dirinya pernah melakukan hal baik. Sejujurnya, ini cerita yang paling aku suka karena si Yakuza ini apa adanya :'). Apalagi ketika melihat hubungannya dengan si "tikus" kesayangannya.

     Kisah ketiga berasal dari seorang anak kecil yang selama hidupnya penuh penderitaan. Nah, di sini ada beberapa kejutan yang bikin beda dari 2 kisah sebelumnya. Aku gabisa ngasih tau, soalnya takut spoiler :'). Intinya, kisah ini juga ada hubungannya dengan alasan Hirasaka selaku penjaga foto studio kehilangan memorinya.

     Sekarang waktunya review

     Buku ini ngingetin aku dengan Hotel De Luna, drama Korea tentang hotel tempat orang meninggal mampir untuk istirahat, sebelum melanjutkan perjalanan ke alam baka. Selain itu, cara berceritanya ngingetin dengan Funiculi Funicula Series, seperti pesan hidup dan kesan hangatnya.

     Salah satu kutipan yang aku inget adalah dari Yakuza, yang intinya: hidup kita adalah produk dari pilihan yang diambil. Jadi, kenapa harus nyesel kalau sebelumnya kita pilih itu? Toh semuanya nggak bisa kembali.

     Di situ, diperlihatkan scene kehidupannya yang menjadikannya seorang Yakuza. Mungkin memang dia sedih kenapa dia berakhir menjadi Yakuza, tapi dia tidak menyesali tindakan yang dilakukan di "sekitar sungai" ketika dia masih muda dulu.

     Di akhir hidupnya, dia menyadari bahwa dirinya penjahat yang jelas akan masuk neraka. Padahal selama hidupnya, dia memberikan harapan kepada seorang "tikus" yang punya sifat aneh. Dengan kata lain, dia rendah hati dengan tidak menyadari perbuatan baiknya selama hidup. Justru di sini bikin aku mikir, kalau definisi rendah hati akan kebaikan itu yang menilai adalah orang lain, bukan diri sendiri. Mana ada orang yang rendah hati tapi mengaku rendah hati? Jatuhnya sombong karena rendah hati nggak sih?

     Terkait teknis penulisan, menurutku banyak banget typo mengingat ini masih ARC alias belum diedit full. Lalu yang bikin aku agak bingung adalah perubahan sudut pandang antara Hirasaka dan tamu-tamunya, nggak ada keterangannyaaaa -_-. Jadi aku di awal sempet bingung, "lah, kok Hirasakan mikir gini?", oh ternyata udah ganti sudut pandang ke tokoh lain.

     Menurutku, buku ini lumayan potensial untuk hype di kalangan pembaca sebagaimana Before the Coffee Gets Cold, atau Morisaki Bookshop. Soalnya, selain konsep ceritanya yang agak baru, buku ini ngasih kesan heart-warming dan bikin kita semakin menghargai kehidupan yang diberikan Allah. Jadi, gunakanlah sebaik mungkin.

     Sekian Review Buku The Lantern of Lost Memories dari Sanaka Hiiragi, terima kasih buat yang udah baca. Dan sebagai pecinta literatur Jepang, tunggu ulasan buku Jepang lain yang akan aku tulis ya! I have a lotttttttt of to be reads about Japanese Literature :D! 

Rabu, 27 Maret 2024

Review Buku: The Goodbye Cat dari Arikawa Hiro



      Setelah sebelumnya aku dibuat kagum dengan tulisannya yang berjudul The Traveling Cat Chronicles, kali ini aku dibuat heart-warming lewat buku The Goodbye Cat, buku terbaru Arikawa Hiro yang diterjemahkan ke bahasa Inggris.

     Kali ini aku ingin menuliskan pendapatku tentang buku ini, terkesan subjektif sih, tapi semoga bisa ngasih gambaran tentang bukunya terutama buat pecinta kucing sekaligus Japan Literature.

     The Goodbye Cat merupakan buku Arikawa Hiro yang terdiri dari beberapa kisah kucing dan pemiliknya. Baiklah langsung saja, aku akan merangkum kisah tersebut secara singkat biar nggak spoiler, hehehe.

Sinopsis The Goodbye Cat dari Arikawa Hiro

     Kisah pertama berasal dari Keluarga Sakuraba, yang mengadopsi anak kucing bernama Kota ketika sang istri tengah hamil anak keduanya, Hiromi. Karena bisa dibilang "umur" mereka hampir sama, Hiromi sangat dekat dengan Kota sejak dia balita. Suatu hari, Hiromi kecil mulai belajar tentang realita bahwa semua makhluk hidup di bumi akan mati. Alhasil dia merasa takut apabila Kota juga akan mati suatu hari nanti. Oleh karena itu, keduanya tumbuh saling menikmati waktu bersama, sehingga apabila salah satu di antara mereka ada yang mati, tidak akan tumbuh penyesalan.

     Kisah kedua berasal dari keluarga Kaori dan Keisuke yang mempunyai bayi perempuan bernama Shiori. Keisuke adalah suami yang clumsy atau gampang kikuk ketika harus berhadapan dengan kehidupan rumah tangga. Hal ini yang membuat Kaori kesal dan malas mengharapkan bantuan Keisuke untuk mengurus bayi. Suatu ketika, Keisuke menemukan bayi kucing berwana oren, yang kemudian dia rawat sehati-hati mungkin. Tak disangka, datangnya kucing oren di keluarga mereka malah memberikan sebuah perubahan besar di kehidupan rumah tangga Kaori dan Keisuke.

     Kisah ketiga berasal dari kisah seorang ayah yang menurutku sifatnya agak menyebalkan, karena dia seolah nggak peduli dengan apapun kecuali dirinya. Suatu hari dia menemukan kucing betina dan memberikannya ke istri untuk dipelihara. Si ayah ini sebenarnya nggak terlalu suka kucing, bahkan selalu menendang ketika si kucing ini mendekat. Tapi ternyata kucing ini tetap setia dengan si ayah.

     Kisah keempat berasal dari kisah seorang anak yang baru ditinggal ibunya meninggal, lalu tak lama ayahnya menikah lagi dengan perempuan bernama Haruko. Meskipun Haruko adalah perempuan baik yang memperlakukan si anak dengan baik juga, si anak masih belum siap memanggilnya degan sebutan "Ibu". Suatu hari, ayahnya mengajak mereka untuk liburan di Cat Island, dan dari sinilah kehidupan mereka mulai berubah.

     Kisah kelima berasal seorang owner kucing yang sering diganggu kucingnya tiap malam waktu tidur. Bukannya kesal, malah si owner semakin gemas dengan kelakuan kucingnya. Untuk cerita ini, lebih ke cerita sehari-hari aja sih.

     Kisah kelima dan keenam, bisa dibilang adalah versi pendek dari The Chronicles of Traveling Cat. Jadi, untuk lebih jelasnya, bisa baca postinganku di tulisan terkait :D.

Baca juga: Review Buku The Chronicles of Traveling Cat dari Arikawa Hiro


Review Buku The Goodbye Cat dari Arikawa Hiro

     Sumpah ya, cara Arikawa Hiro dalam gambarin interaksi kucing dan manusia tuh indah bgt! Sebagai pembaca, kita bisa ngerasain sudut pandang tokoh di cerita yang perasaannya macam-macam, mulai gemes karena tingkah laku kucing, sedih karena kucing liar yang harus rebutan makanan, atau kesal kalau si kucing mulai bikin "bencana" di rumah.

     Selain itu, ada beberapa cerita di sini yang ngasih sudut pandang kucing terhadap manusia. Jadi kita bisa diajak berkhayal, kira-kira kalau kita ngelakuin A, si kucing bakal mikir apa ya? (walaupun kucing katanya nggak bisa mikir ya ges ya).

     Buku ini juga ngajak kita buat melihat "life-cycle" makhluk hidup, dalam hal ini kucing dan manusia. Misalnya di cerita pertama, kita akan melihat gimana perkembangan kucing yang diadopsi saat bayi, hingga dia menua bersama pemiliknya. Dan juga tentang realita bahwa makhluk hidup akan mati pada waktunya. Di saat ada kelahiran, di situ juga ada kematian.

     Sebagaimana buku-buku Arikawa Hiro yang sebelumnya aku baca, buku ini juga emosional banget (setidaknya buatku). Di sini beneran digambarin, gimana manusia dan kucing itu bisa saling terikat satu sama lain. Dan ketika salah satunya pergi, yang ditinggal bakal ngerasa sedih yang mendalam. Nggak cuma sedih-sedihan sih, tapi ada sisi menggemaskannya, apalagi kita di sini membahas tentang kelakuan kucing.

     Dan lagi, ketika penulis mulai bahas topik-topik serius seperti kematian, masalah keluarga atau penyakit, ada sentuhan sedikit humor yang bikin kita nggak terlalu tegang dengan ceritanya. Jadi bisa bikin mengalir aja pas baca.

     Intinya, kalau kamu adalah pecinta kucing, wajib sih baca ini! Banget, banget banget deh pokoknya. Apalagi kalau suka tipe cerita yang heart-warming, pasti bakal ngerasa tersentuh dengan cerita-ceritanya.

     Demikian Review Buku The Goodbye Cat dari Arikawa Hiro, terima kasih buat yang udah baca!

Kamis, 29 Februari 2024

Review Buku: The Door to Door Bookstore dari Carsten Henn


      Pecinta buku heartwarming merapat!! Kali ini, aku mau review buku yang sangat hype di kalangan bookstagram, soalnya banyak yang bilang, novel  ini ngasih rekomendasi bacaan kepada pembacanya. Judul bukunya adalah, The Door to Door Bookstore dari Carsten Henn. Seperti apa sih bukunya?

     The Door to Door Bookstore dari Carsten Henn berkisah tentang seorang kakek tua bernama Carl Kollhoff yang mengantarkan pesanan buku ke para pelanggannya sepulang dia berjaga di sebuah toko buku. Di sebuah perjalanannya mengantar buku-buku tersebut, datang sorang gadis berusia 9 tahun yang suka mengikuti Carl ke manapun dia mengantar bukunya. Awalnya Carl merasa risih, akan tetapi karena si gadis kecil ini tidak menganggunya, Carl hanya membiarkannya aja.

     Karena kebanyakan pelanggan yang bukunya diantar oleh Carl sudah sering menggunakan jasa Carl, mereka jadi semakin akrab dan lama kelamaan merasa seperti terikat satu sama lain. Sebab tak hanya mengantar, tapi Carl juga ngasih rekomendasi buku kepada mereka yang bingung mau baca apa. Sehingga secara nggak langsung, mereka adalah "teman".

     Suatu hari, toko buku tempat Carl bekerja memecat Carl, lantaran pemiliknya telah meninggal dan toko tersebut diambil alih oleh penerusnya. Apa yang akan dilakukan Carl selanjutnya? Bagaimana dia bisa bertemu pelanggan-pelanggannya kalau sudah tidak bekerja? Bagaimana nasib gadis 9 tahun yang selalu mengikuti Carl mengantar buku?

     Tokoh Carl di sini digambarkan sebagai sosok yang judes tapi sebenarnya sensitif dengan orang sekitarnya. Jauh di lubuk hatinya dia sangat peduli dengan keberadaan orang sekitarnya, khususnya si gadis 9 tahun dan pelanggan-pelanggannya.

     Yang aku suka dari buku ini adalah beberapa rekomendasi buku yang menurutku bisa ngasih tambahan referensi kepada pembaca tentang buku-buku klasik, bisa dibilang bantu nge-hype-in buku klasik yang hampir ditelan zaman, mengingat banyaknya tulisan kontemporer yang mungkin lebih sesuai dengan kondisi saat ini.

     Selain itu, buku ini punya pesan yang cukup dalam terkait literasi dan kehidupan. Kayak, "buku adalah penyelamat ketika hidup tidak baik-baik saja". Atau "buku bisa menciptakan persahabatan antar manusia". Bisa dilihat di kisah beberapa pelanggannya yang, hmmm gimana ya, pokok ada yang menyedihkan lah. Dan di situlah ternyata buku yang selama ini mampu membuatnya waras.

     Untuk konflik baru ditemui di sepertiga akhir bukunya, yang lumayan bikin nyesek tapi masih bisa ditebak. Dan lagi-lagi, penyelesaian konfliknya nggak jauh dari buku :D. Secara umum, buku ini ngasih kesan cozy dan heart-warming sih. Aku suka, tapi bukan yang suka banget.

     Buat kamu yang suka bacaan santai dan heart warming, pasti bakal suka buku ini. Soalnya ya emang beneran heart-warming dan bikin kita jatuh cinta dengan buku berkali-kali. Hehehe.

     Tapi kalau kamu kurang suka buku yang slow paced, mungkin bakal bosan dengan buku ini. Soalnya alurnya lumayan datar dan konfliknya masih bisa ditebak endingnya.

     Nah, itu tadi review buku The Door to Door Bookstore dari Carsten Henn. Terima kasih buat yang udah baca :D.

Kamis, 23 November 2023

Review Buku: She and Her Cat dari Makoto Shinkai dan Naruki Nagakawa


      She and Her Cat dari Makoto Shinkai dan Naruki Nagakawa merupakan salah satu Japan Literature yang membahas tentang hubungan kucing dan manusia. Sebagaimana yang kita tahu, kucing merupakan salah satu hewan populer yang dipilih sebagian manusia untuk dijadikan peliharaan. Buku ini memuat pesan kehidupan yang meliputi kepercayaan diri, penyembuhan penyesalan dan keberanian untuk melangkah lebih jauh.

     Lewat empat kisah berbeda dari empat perempuan dan empat kucing, buku ini menyajikan kisah emosional tapi inspiratif, yang mampu memberikan perasaan hangat terhadap pembacanya. Yang tak kalah menarik, buku ini juga ditulis dengan 2 sudut pandang, yakni sudut pandang manusia dan para kucing itu sendiri. Bakal seperti apa ya kira-kira? Mengingat kucing yang kita kenal saat ini seringkali bertindak secara insting.

     Dengan latar cerita di sebuah kota di Jepang, She and Her Cat akan mengajak kita menyelami berbagai emosi manusia yang kadang sulit ditebak. Para kucing di sini pun akan menunjukkan "perannya", terhadap keberadaannya bersama manusia. Meskipun empat kisah ini berbeda, kita akan melihat adanya hubungan dari kisah-kisah tersebut. Seperti apa kisah-kisah mereka? 

Sinopsis Buku She and Her Cat

     Buku ini dibuka dengan kisah seorang perempuan penyendiri yang menemukan seekor kucing berwarna putih di sebuah trotoar. Dia pun membawa pulang kucing tersebut, yang kemudian diberi nama Chobi. Perempuan ini dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang "nggak enakan", sehingga hidupnya dipenuhi pikiran negatif dan menjadikannya tidak bahagia. Chobi yang merasa simpati pun ingin "si perempuan" ini berani mengambil tindakan tegas sehingga dia bisa lebih bahagia. Nah, apa yang akan dilakukan si Chobi?

     Kisah kedua berasal dari seorang seniman lukis yang cukup rebel, tapi sangat berbakat. Meskipun hidupnya berantakan dan dia sendiri cukup keras kepala, si seniman ini seringkali memberi makan kucing liar bernama Mimi. Mimi seringkali masuk ke apartemen si pelukis dan menemaninya membuat suatu karya. Tapi entah mengapa, dia enggan menjadikan Mimi sebagai kucing peliharannya, padahal dia secara tidak langsung sangat peduli dengan Mimi. Apakah alasan si perempuan pelukis ini? 

     Kisah ketiga berasal dari perempuan yang mengalami sedih berkelanjutan akibat perasaan bersalah atas kematian sahabatnya. Dia merasa, dialah penyebab kematian sahabatnya, setelah mengatakan ucapan yang menyakiti. Alhasil, dia selalu mengurung diri di kamar. Ibunya yang prihatin pun membawakannya seekor kucing bernama Cookie, untuk mengurangi kesedihan si perempuan ini. Cookie yang selalu dikurung di kamar bersama si perempuan pun lama-lama tidak betah karena ingin pergi ke dunia luar. Bagaimana cara dia agar bisa keluar bersama perempuan ini?

     Kisah keempat berasal dari seorang perempuan tua yang selama hidupnya dihabiskan untuk "merawat" orang lain, sehingga dia tidak tau tujuan hidupnya seperti apa. Suatu hari, anjing peliharannya mati karena usia, dan di sebelahnya ada kucing yang biasanya menjadi teman anjingnya. Karena terbiasa "merawat" peliharaan, si perempuan tua ini pun akhirnya memutuskan untuk merawat kucing yang bernama Kuro. Bagaimana petualangan Kuro dalam menemani perempuan tua menuju perkembangan karakter yang lebih baik?

Opini terhadap buku

     Buku ini punya kesan yang unik buatku. Soalnya, di awal terasa membosankan, mengingat alur dari kisah pertama hanya sekadar kisah kehidupan sehari-hari. Tapi entah kenapa, tiap mau tutup buku, seperti ada dorongan buat terus baca karena nagih (??). Bingung nggak sih, bosen tapi nagih karena penasaran?

     Dari sekian cerita yang ada di buku ini, aku paling tersentuh dengan kisah Mimi dan Reina di chapter 2. Reina yang merupakan seorang pelukis, enggan memelihara Mimi tapi dia selalu ngasih dia makan. Di satu sisi, Mimi pun tahu diri kalau dia bukan peliharaan Reina, jadi dia nggak berani tidur di sekitar apartemen Reina.

     Nah, di bagian ini, ada sedikit flashback tentang masa lalu Mimi. Dia sejak kecil selalu menjadi yang "tidak dipilih". Ketika dia lahir, saudara-saudaranya banyak yang "ngambil" buat dipelihara. Sementara dia nggak ada yang mau, soalnya dia paling terlihat lemah dan sakit-sakitan.

All my siblings were taken away, but nobody wanted me, and I was dumped just like that. I was the smallest and would often throw up my milk, and I was hard of hearing, so they didn't find me so adorable. I was the weakest of us all.

     Dan ketika dia udah beranjak dewasa, dia seperti kehilangan kepercayaan dirinya. Namun, saat ada manusia yang setidaknya peduli untuk memberinya makan, dia merasa punya ikatan dengan orang itu, dan berusaha menunjukkan bahwa dia kuat, kuat demi Reina yang selalu memberinya makan, padahal dia hanyalah kucing liar.

I wanted to be able to show Reina I could be independent too. (hal. 44)

I wanted to pay her back someday for all the food she gave me. (hal. 46)  

     Bahkan ketika dia akan melahirkan, dia berusaha untuk tetap mandiri, karena enggan menyusahkan Reina dengan suara teriakannya ketika melahirkan. Alhasil dia bersembunyi di suatu tempat, yang justru malah hampir membuatnya celaka. Apakah Mimi akan selamat? Dan bagaimana caranya Reina bisa bertemu dengan Mimi?

     Dari segi narasi, bahasanya sangat mengalir, jadi terasa ringan aja. Nggak butuh mikir untuk memahami lebih dalam. Setiap tokoh perempuan di sini juga manusiawi banget, nggak terlalu lebay dalam menggambarkan kesedihannya, dan nggak terlalu lebay juga dalam penyampaian kelebihan tokohnya. Rasa sedih yang muncul dari masing-masing tokoh itu sering banget kita temui sehari-hari, seperti sedih karena cinta sepihak, atau karena merasa kemampuan sendiri kurang, juga sedih karena penyesalan di masa lalu.

     Selain itu, penggambaran hubungan antara kucing dan manusia itu terkesan natural. Misalnya, Chobi dan Miyu. Miyu menemukan Chobi di pinggir jalan, lalu membawanya pulang. Awal-awal, dia ya memberi makan dan merawat sekadarnya, nggak sampai yang langsung terikat secara emosi. Barulah seiring berjalannya waktu, mereka bisa dekat. Begitu juga dengan kucing dan pemilik lainnya.

     Buku ini cocok ditujukan bagi pecinta kucing, pasti bakal relate dengan kisah-kisahnya. Vibes-nya juga heart-warming, tapi emosional juga. Kalau pernah nonton animasi karya Makoto Shinkai lainnya, pasti paham maksudnya. Pokoknya, ini recommended lah!

     Sekian review buku She and Her Cat dari Makoto Shinkai dan Nagakawa, terima kasih buat yang udah baca!

Rabu, 22 November 2023

Review Buku: Days at the Morisaki Bookshop dari Satoshi Yagisawa



     Quarter life crisis emang merupakan fase hidup yang terasa berat, soalnya di usia segitu, kita akan mengalami perubahan dari fase remaja ke dewasa. Jadi, karena kita harus beradaptasi, otomatis akan timbul perasaan tidak nyaman yang dapat menjadikan kita stres. Sebagaimana yang dialami Takako dalam buku Days at the Morisaki Bookshop karya Satoshi Yagisawa, yang harus menghadapi realita hidup, bahwa tidak semua orang di dunia ini "normal" dan baik.

     Days at the Morisaki Bookshop berkisah tentang Takako, perempuan yang berusia 25 tahun, harus menerima kenyataan bahwa selama ini dia menjadi selingkuhan rekan kantornya. Lelaki yang sempat dianggap menjadi pacar Takako itu pun secara tiba-tiba mengatakan bahwa dia akan menikah dengan pacar aslinya, yang ternyata juga berada di satu kantor dengan mereka. Perasaan Takako tentu saja campur aduk, mulai dari sedih, marah dan merasa bodoh. Demi menjaga kesehatan mental, dia pun memutuskan untuk resign dari kantornya.

     Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di apartemennya sebagai "pengangguran", secara tiba-tiba, paman Takako yang bernama Satoru menghubunginya. Dia meminta Takako untuk menempati ruko dari toko buku kecilnya yang berada di sebuah kota kecil. Karena uang tabungan Takako mulai habis, dia pun memutuskan menerima tawaran tersebut. Apakah Takako akan menemukan kebahagiaan baru di sana?

     Di satu sisi, Satoru yang terlihat ceria ternyata juga menyimpan kesedihan tersendiri. Istrinya secara tiba-tiba pergi meninggalkannya tanpa pesan beberapa tahun lalu. Satoru yang sampai sekarang terus mencari jawaban, mengapa istrinya memilih untuk meninggalkannya tanpa sepatah kata? Apa kesalahan dia? Hal ini tentu juga membuat Takako penasaran. Lantas, apakah Takako berhasil menemukan jawaban tersebut demi membantu pamannya?

Opini buku Days at the Morisaki Bookshop

     Japan literature tipe slice of life emang kadang terasa nanggung, makanya pas aku baca ini aku ya nggak mau ekspektasi tinggi. Dan ternyata ya emang nanggung. Entah dari segi penyelesaian konflik, juga dengan penggambaran alurnya.

     Buku ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama membahas kehidupan Takako yang baru saja patah hati setelah mengetahui kenyataan bahwa dia jadi selingkuhan. Dia yang serba putus asa pun mulai membuka lembaran baru di Toko Buku Morisaki milik pamannya. Awalnya ya aku cukup berharap, di buku ini bakal diberikan penyelesaian tentang masalah Takako secara rinci dan sistematis. Terutama, tentang kisah percintaannya dia. Apalagi dia sempet ragu ketika mantan pacarnya meminta dia kembali.

     Sayangnya, di buku bagian 2, cerita langsung lompat ke kisah hidup Satoru yang ditinggal pergi istrinya tanpa sepatah kata. Aku yang awalnya mikir, fokus buku ini lebih ke pengembangan diri Takako, agak kecewa juga pas bagian 2 malah langsung bahas Satoru sebagai tokoh utama. Padahal masalah pertama dari Takako masih agak gantung.

     Meski demikian, Takako tetap mengalami pengembangan karakter juga kok. Apalagi dia di sekitar toko, dikelilingi orang-orang baik. Hanya saja, bagi sebagian orang yang berharap Takako percintaannya mulus, siap-siap kecewa aja, mengingat kisah percintaannya nggak dijabarkan secara detail. Soalnya genre buku ini bukan romantis, lebih ke slice of life yang fokusnya ke pelajaran hidup.

     Dengan beberapa kekurangan yang aku sebut di atas, bukan berarti buku ini nggak bagus sama sekali. Tentu saja ada beberapa poin menarik yang bikin aku betah buat menyelesaikan buku ini. Di antaranya, gaya bahasa yang ringan dan mengalir. Sebelum baca buku ini, aku sebenarnya sedang reading slump dan males lihat bacaan sama sekali. Ketika aku maksain baca buku ini, di chapter pertama udah dibuat nagih untuk ngikuti kisah si Takako. Dan karena buku ini tipis bgt, nggak sampai 150 halaman, tiba-tiba aku udah selesai aja dalam sekali duduk.

     Poin menarik selanjutnya, adalah penggambaran suasana di toko buku Morisaki yang super bikin iri para pecinta buku. Bayangin aja, kamu ada di sebuah ruangan berisi ratusan buku bagus yang super langka, dan tentu saja aroma buku yang bikin nyaman. Tak hanya itu, di sekitar toko buku Morisaki juga suasananya terasa damai. Orang-orangnya pada ramah khas kota kecil, terus ada cafe juga yang terasa cozy kalau dibayangin. Intinya, suasananya berasa calming dan heart-warming.

     Nah, buat siapa sih buku ini? Kalau kamu adalah orang yang super detail dalam baca buku, aku rasa buku ini nggak cocok sama kamu. Karena semuanya serba nanggung. Apalagi penyelesaiannya nanggung dan gantung. Tapi, kalau kamu orang yang lagi reading slump atau bukan tipe yang suka mikirin alur secara mendalam, buku ini bakal cocok, apalagi dengan vibes yang damai banget. Cocok lah buat pelarian bagi yang hidupnya di dunia nyata udah berat.

     Sekian review buku Days at the Morisaki Bookshop dariku. Semoga bermanfaat dan terima kasih buat yang udah baca! 

Senin, 18 September 2023

Review Buku: The Boy, The Mole, The Fox and The Horse dari Charlie Macksey



      Buat yang suka buku grafis dengan tulisan yang pendek-pendek, kayaknya bakal suka dengan buku ini. Buku The Boy, The Mole, The Fox and The Horse dari Charlie Macksey merupakan kisah dari seorang anak laki-laki kecil bersama tikus tanah, rubah dan kuda. Mengingatkan dengan Little Prince, karena berisi tentang pikiran anak kecil yang polos.

     Buku ini dibuka dengan pertemuan bocah laki-laki yang punya rasa ingin tahu, dengan tikus tanah yang bijaksana. Si bocah menanyakan beberapa pertanyaan terkait kehidupan kepada tikus, hingga muncullah "quote" yang akan menghiasi sepanjang buku ini.

     Setelah itu, mereka akan bertemu dengan rubah yang "introvert" dan kuda yang lembut. Dengan interaksi mereka yang filosofis, keempatnya pun menjalin persahabatan.

     Sebenarnya, nggak banyak yang bisa aku tulis di sini terkait sinopsis-nya. Soalnya, isi bukunya ya seputar quote kehidupan. Kalau pernah baca Little Prince, pasti tau lah kira-kira modelnya seperti apa. Soalnya ya mirip-mirip itu. Dengan asal mula rasa ingin tau bocah laki-laki, akhirnya muncullah percakapan yang bisa direnungkan oleh pembaca buku ini.

     Buku ini bisa dibilang adalah fabel? Soalnya ada unsur percakapan antar binatang. Jadi emang ini hanyalah fiksi atau imajinasi penulis yang mengandung pelajaran tertentu.

     The Boy, The Mole The Fox, and The Horse memiliki kelebihan di grafisnya yang punya style unik. Tulisannya juga nggak terlalu baca, jadi buat yang sedang reading slump atau buat yang nggak terlalu suka baca, buku ini bakal jadi kelebihan tersendiri. Apalagi tulisannya emang quotable. Bagus banget kalau buat dibuat bahan foto estetis ala-ala.

     Akan tetapi, aku sendiri merasa kurang nyaman dengan font-nya. Soalnya modelnya hand-writing, jadi agak susah dibaca. Apalagi aku baca digital, jadi harus zoom out zoom in Kindle-ku.

     Terkait "isi" bukunya, sebenarnya bukan yang outstanding banget. Tapi beberapa emang cukup memorable buatku. Di antaranya adalah quote-quote berikut:

'Sometimes I worry you all realise I'm ordinary', said the boy. 'Love doesn't need you to extraordinary', said the mole.

 We often wait for kindness, but being kind to yourself can star now, said the mole.

 This storm will pass.


Nah, itu tadi review buku The Boy, The Mole, The Fox and The Horse dari Charlie Macksey. Terima kasih bagi yang udah baca!

Senin, 07 Agustus 2023

Review Buku: Love to Hate You dari Camilla Isley


      Bacaan dengan latar small-town selalu punya tempat di aku, soalnya kebanyakan punya kesan hangat, tenang dan syahdu. Mengingat beberapa pedesaan masih asri dengan hijau-hijauan dari pohon dan sawah. Nah, kali ini aku pengen nulis review buku romance-comedy dengan latar small-town di Indiana, Amerika Serikat. 

Sinopsis Buku

     Samantha adalah seorang produser kompeten di New York, dia adalah tipe city girl yang nggak pernah membayangkan bakal ninggalin kota, apalagi tinggal di pedesaan di pinggiran kota. Sayangnya, salah satu film yang diambil di Emerald Creek, sebuah daerah kecil di Indiana, mengalami kendala sehingga ia harus pergi ke sana selama 3 bulan agar filmnya bisa lekas selesai. Kira-kira kendalanya apa ya?

     Setiba di desa, Samantha langsung disambut dengan sapi yang menghadang jalan hingga tanah berlumpur yang mengotori sepatu kesayangannya. Tak hanya itu, dia juga bertemu dengan pemilik sapi itu bernama Travis, seorang cowboy yang suka iseng, apalagi pas tau kalau Samantha tipikal anak kota yang terbiasa tinggal di desa.

     Yang namanya kota kecil, pasti orangnya ya itu-itu aja. Di Emerald Creek pun Samantha harus sering berpapasan dengan Travis, karena mau nggak mau keadaan mengharuskan mereka sering bertemu. Tak banyak yang tau, Travis pun ternyata menyimpan kerinduan terhadap kehidupannya di kota dulu. Di mana hal ini yang bikin mereka bisa nyambung.

     TAPI, karena suatu hal, Travis nggak bisa ninggalin desanya. Begitu juga dengan Samantha, yang karirnya di New York jauh lebih menjanjikan. Kalau mereka serius dengan hubungannya, salah satu dari mereka harus ada yang ngalah. Sayangnya, bagi Samantha ninggalin karir nggak semudah itu. Begitu juga dengan Travis, ninggalin semua yang ada di kampung halamannya bukanlah hal yang bisa lakukan dengan mudah. Terus, hubungan mereka bakal gimana? Apakah mereka kembali dengan hidupnya masing-masing? Atau menemukan solusi yang terbaik untuk keduanya?

Kesan terhadap Buku

     Sebenarnya buku ini adalah buku ke empat dari salah satu seriesnya Camilla Isley. Tapi bisa dibaca sendiri sih, nggak harus urut. Nah, dari ke empat seriesnya, buku ini adalah yang paling aku suka. Soalnya dari segi tokoh, karakter, humor dan latar ceritanya bener-bener sesuai dengan seleraku.

     Samantha digambarkan sebagai perempuan kompeten yang fokus banget dengan karirnya, sementara Travis adalah laki-laki iseng yang punya soft spot terhadap ibu dan kampung halamannya. Meskipun kedua karakter tokoh berbeda, tapi ketika disatukan malah seru. Humornya pun pas, nggak terlalu berlebihan atau kasar terhadap satu sama lain.

     Terkait latar pedesaannya, juga digambarkan dengan baik. Aku bisa bayangin seperti apa kira-kira latar tempatnya, karena cara penulis deskripsiin tempatnya lumayan detail, seperti rumput di tana berlumpur, atau air terjun alaminya. Begitu juga cara penulis gambarin suasana desa, seperti adanya festival olahraga sebagai hiburan warga, atau festival hari kemerdekaan yang diisi dengan beberapa perlombaan dan bazar (kayak di Indonesia ya).

     Mengenai alur cerita, awal-awal mungkin agak terlalu detail ya penjabaran terkait kondisi Samantha, tapi begitu masuk chapter di mana Samantha udah tiba di desa, penulisannya udah mulai seru. Perkembangan hubungan mereka pun juga termasuk natural dan nggak terlalu cringe.

     Akan tetapi, penyelesaiannya menurutku agak terlalu terburu-buru. Apalagi jarak antara "kondisi hubungan damai" menuju "konflik" dan "solusi", nggak stabil. Maksudnya, setelah dibuai dengan damainya hubungan keduanya, tiba-tiba konflik yang penjabarannya kurang detail. Tiba-tiba muncul solusi aja, dan nggak dijabarin lagi cara kerja solusi ini.

     Meski demikian, aku tetap suka sama buku ini. Nggak tau kenapa, setelah baca ini jadi pengen jalan-jalan lihat sawah dan lihat petani lagi panen. Pokok berasa syahdu deh.

     Demikian review buku Love to Hate You dari Camilla Isley. Buat yang udah baca sampai selesai, terima kasih ya!

Senin, 05 Juni 2023

Memahami Isu Arab Spring Lewat Buku As Long As The Lemon Trees Grow dari Zoulfa Katouh



     Sekitar tahun 2010-2011, pemberitaan kita ramai dengan isu Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah. Peristiwa yang diawali di Tunisia ini, kemudian memberikan "inspirasi" kepada negara Arab lain untuk melakukan revolusi dari pemerintahan otoriter menuju negara demokrasi. Memang, ada negara yang berhasil melakukan revolusi dan menjadi negara demokrasi, tapi ada juga negara yang justru menimbulkan Perang Saudara seperti di Suriah.

     Novel As Long As The Lemon Tree Grow dari Zoulfa Katouh adalah novel yang berlatarkan fenomena revolusi di Suriah, di mana sampai sekarang revolusi yang merujuk ke peperangan pun masih terus berlanjut. Ditulis dari sudut pandang Salama, seorang mahasiswa farmasi yang "terpaksa" berperan menjadi dokter di daerahnya, dikarenakan minimnya dokter yang tersedia di rumah sakit tersebut (bahkan cuma ada 1 dokter aja).

       Salama tinggal di kota Homs. Ayah (Baba) dan kakaknya (Hamza) telah ditangkap, sementara ibunya (Mama) tewas. Hamza menitipkan istrinya (Layla) yang sedang hamil kepada Salama. Oleh karena itu, demi keselamatan Layla dan anaknya, Salama bercita-cita bisa membawa mereka ke Jerman, menggunakan perahu.

     Di tengah kekacauan perang, Salama bertemu dengan sosok bayangan bernama Khawf, laki-laki yang hanya bisa dilihat oleh Salama, di mana ia terus memengaruhi dan melakukan manipulasi isi pikiran Salama dalam mengambil keputusan. Hal ini terjadi, karena Salama mengalami halusinasi akibat peperangan.

     Salama juga bertemu dengan sosok Kenan, laki-laki seumurannya yang minta tolong supaya adiknya dirawat oleh Salama. Pertemuan Salama dan Kenan inilah, yang kemudian menambah bumbu-bumbu romansa selama mereka berhadapan dengan perang di Homs (Suriah) ini.

     Baca buku ini bener-bener bikin emosional dan campur aduk. Marah, sedih, gemes, hingga sedih lagi. Di setiap babnya, aku ikutan was-was, takut kalau ada tokoh yang meninggal lagi. Apalagi, cara Zoulfa dalam menggambarkan keadaan dan suasana cerita, berasa nyata dan memancing emosi kita. Dengan kata lain, narasi dia sangat bagus dan nagih untuk dibaca.

     Lewat buku ini, bikin aku jadi makin aware dengan keadaan di Suriah yang bener-bener ada. Di satu sisi, aku jadi semakin bersyukur dengan keadaanku yang sekarang. Apalagi, ada bagian statement yang cukup menamparku, seperti quote berikut:

Because when you see the people who are dying. When you see the mutilated children and you hear them crying with fear and pain. Maybe then you'll know how lucky you are that you are okay. That you can leave.

     Dengan kata lain, meskipun saat ini kita berada di situasi yang tidak menguntungkan, ingatlah, bahwa yang berada di situasi seperti itu bukan cuma kita. Ada banyak orang di luar sana banyak yang mengalami hal serupa, atau bahkan lebih parah. Bersedih boleh, tapi janganlah berputus asa.

     Pilihan judulnya pun menurutku juga cukup thoughtful, As Long As The Lemon Trees Grow, menunjukkan adanya harapan di setiap kejadian. Judul ini dipilih, karena rumah orang-orang di Homs, di halamannya banyak yang ditanami pohon lemon. Jadi, biarpun kota Homs terus mengalami ledakan atau tembakan, selama pohon-pohon lemon ini terus tumbuh, harapan mereka akan perdamaian juga akan terus tumbuh. Karena, biarpun manusia mati, pohon-pohon ini suatu saat akan menyaksikan perdamaian yang diperjuangkan.

     Nggak cuma menyinggung isu Arab Spring, buku ini juga mengenalkan tentang nilai-nilai Islam. Seperti menggunakan hijab, halal romance (tidak bermesraan dengan lawan jenis ketika belum menikah), dan ucapan-ucapan istighfar di sepanjang cerita seperti Alhamdulillah, Allahu Akbar, Subhanallah dan sebagainya.

     Buku ini memuat kesedihan, cinta dan harapan. Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, tidak semuanya kita bisa kontrol. Sebagaimana yang termuat dalam cerita ini, ketika Salama takut jika dia dan orang-orang yang disayanginya harus menjadi korban dari peperangan ini. Maka, Am, seorang "pengendali" perahu berkata kepada Salama:

Salama, you've done everything. The rest is up to God. To fate. If you're meant to be in Munich, you will be, even the whole military rips this place apart. And if you're not, then not even a private plane landing in the middle of Freedom Square to whisk yoi away will do that.

Dengan kata lain, sebagai manusia, kita cuma bisa berharap dan berusaha, untuk urusan hasil, itu adalah urusan Allah SWT.

     Selain menyinggung tentang isu Arab Spring, buku ini juga membahas tentang PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), sebagaimana yang dihadapi Salama. Dia yang trauma akibat peperangan, mengalami halusinasi tentang sosok imajinasi dia. Dan di sini tidak hanya Salama aja, tapi adik Kenan juga mengalami hal serupa, di mana dia beranggapan bahwa orangtuanya masih hidup dan berbicara dengannya.

     Untuk PTSD, karena ini bukan ranahku untuk menjabarkan lebih lanjut (dan aku belum riset lebih jauh terkait ini), jadi nggak perlu dibahas lebih lanjut. Takut salah, HEHEHE. Tapi, di buku ini sedikit banyak kita akan ditunjukkan bagaimana orang yang mengalami PTSD.

     Sebagai penutup, aku ingin menyimpulkan bahwa buku ini bagus banget dari segala sisi, terutama bagi pecinta Historical Fiction (yang mana, ini tergantung selera). Dari segi narasi, yang bisa bikin kita melihat dan merasakan langsung seperti apa situasi di Suriah (karena Zoulfa cenderung show, bukan tell). Dari segi alur cerita, yang meskipun lambat, tapi cukup padat. Tak lupa, buku ini juga penuh makna dan pesan moral, terutama bagi umat muslim. Dan dari segi tokoh, yang terkesan nyata, tapi mengalami perkembangan karakter akibat situasi hidup yang mengalaminya.

     Oh iya, satu lagi. Aku suka banget sama cover buku As Long As The Lemon Trees Grow ini. Vibesnya syahdu dan penuh harapan. Apalagi ternyata Zoulfa Katouh ini ternyata terinspirasi dari Ghibli. Secara keseluruhan, buku ini heart-breaking, tapi juga heart-warming!

     Sekian tulisanku terkait buku yang membahas revolusi di Suriah ini. Semoga bermanfaat, dan terima kasih bagi yang udah baca!

Jumat, 10 Februari 2023

Review Ikan Kecil dari Ossy Firstan

Setiap anak punya ceritanya sendiri.

      Meskipun di tengah riuhnya kampanye "child-free", memiliki anak masih menjadi salah satu harapan sebagian besar pasangan yang sudah menikah. Banyak pasangan yang berjuang dan menjalankan program hamil berdasarkan instruksi dokter. Akan tetapi, bagaimana kalau anak yang lahir ternyata "istimewa"?

     Novel Ikan Kecil dari Ossy Firstan memberikan gambaran perjuangan orangtua demi seorang anak. Mulai dari kehamilan yang ditunggu selama hampir 4 tahun setelah pernikahannya, hingga perjuangan ketika menerima fakta bahwa anaknya harus "berbeda" dengan anak pada umumnya.

Kamis, 17 November 2022

Pecinta Kucing Wajib Baca Buku Tentang Kucing Ini!



     Kalau kamu penyuka kucing, pasti paham banget kelakuan mereka yang suka bikin geleng kepala. Kucing memang salah satu hewan yang gampang banget buat dicintai, meskipun mereka suka sok jual mahal dan judes ke manusia seperti kita. Saking cintanya, bahkan banyak yang rela buat merogoh kocek lebih dalam buat memelihara sang majikan satu ini.

Sabtu, 18 Juni 2022

Rekomendasi 4 Buku Fiksi Heart-Warming Untuk Dibaca



Apa Buku Heart-warming yang Bagus Untuk Dibaca?

     Membaca buku kerap kali dikaitkan dengan mencari sumber ilmu yang bersifat akademik. Sehingga, orang yang suka membaca selalu dianggap nerd, pintar atau ambis. Padahal, membaca tidak selalu dilakukan untuk mencari ilmu, melainkan juga untuk mencari hiburan atau mengatasi kebosanan. Ada banyak sekali variasi bacaan untuk mencari hiburan, misalnya, majalah, buku grafis, komik, maupun bacaan fiksi. Bacaan fiksi pun terbagi lagi menjadi beberapa genre, ada romance, inspiratif, misteri dan lain sebagainya, yang untuk memilihnya, tergantung selera atau kebutuhan dari pembacanya.

Sabtu, 11 Juni 2022

Review Buku Good Vibes, Good Life dari Vex King


 Apa Manfaat Mencintai Diri Sendiri?

     Good Vibes, Good Life: How self love is the key to unlocking your greatness dari Vex King, merupakan salah satu buku self-improvement yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Sebab, versi bahasa Indonesia baru saja diterbitkan oleh Penerbit Baca. 

     Good Vibes Good Life berisi kumpulan esai tentang pentingnya mencintai diri sendiri demi mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana kita tahu, bahwa mencintai diri sendiri mampu mendorong kepercayaan diri untuk lebih berkembang dan bertumbuh. Sayangnya tidak semua orang bisa langsung mencintai diri sendiri. Dengan beberapa faktor seperti, trauma masa lalu, berada di lingkungan yang toxic, dan semacamnya, telah menjadikan proses mencintai diri sendiri jadi terhambat.

     Lantas, solusinya seperti apa? Ada beberapa cara yang bisa dilakukan demi membangun kepercayaan diri. Salah satunya adalah dengan memberikan banyak afirmasi positif kepada diri sendiri. Bisa dengan menonton video inspiratif, atau membaca buku self-healing seperti buku Good Vibes Good Life yang akan aku review kali ini. Nah, seperti apa sih buku dari Vex King ini? Kalau tertarik, baca sampai selesai yuk!

Sabtu, 04 Juni 2022

Review Buku: Midnight Library dari Matt Haig



     Kalau kamu punya kesempatan buat ngulang kehidupan, apakah kamu bakal memilih pilihan yang berbeda dari yang kamu pilih saat ini?

     Pilihan. Manusia kerap kali dihadapkan dengan berbagai pilihan yang kadang membuat kita dilema. Apa benar pilihan sekarang adalah yang terbaik? Kalau aku memilih pilihan lain, apakah hasil yang didapat akan lebih baik?

Rabu, 20 April 2022

Review Buku: A Man Called Ove dari Fredrik Backman



      Hai semua! Apakah ada yang suka bacaan slice of life yang heartwarming? Kali ini aku akan mengulas salah satu novel dari Fredrik Backman yang berjudul  A Man Called Ove. Kira-kira buku ini tentang apa sih? Kelebihan dan kekurangannya apa? Lalu pelajaran moralnya apa? Baca tulisan ini sampai selesai yuk!

     A Man Called Ove adalah buku tentang seorang laki-laki pensiunan bernama Ove yang terkenal grumpy di lingkungannya. Ia baru saja ditinggal pergi istrinya beberapa bulan sebelumnya. Karena dia merasa tidak punya tujuan hidup lagi (pensiun dan istri sudah gak ada), dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

     Utang, gak punya. Wasiat sudah ditulis. Tinggal menyusun skenario bunuh diri yang elegan. Sayangnya, upaya dia untuk bunuh diri selalu gagal karena gangguan di lingkungan sekitarnya. Entah tetangga yang tiba-tiba minta bantuan, atau kucing "adopsinya" yang tiba-tiba memunculkan diri, dan hal-hal lainnya. Lantas, apakah pada akhirnya Ove akan berhasil bunuh diri?

Senin, 06 September 2021

Review Buku: Aku Bukannya Menyerah, Hanya Sedang Lelah dari Geulbaewoo


      Lelah. Di suatu titik, kita pasti pernah berada di situasi lelah untuk melakukan sesuatu. Entah karena takut akan gagal lagi, atau mungkin rencana yang kita susun sudah tidak bersisa. Bertemu dengan orang lain pun terasa seperti ancaman. Rasanya, ingin bersembunyi di suatu tempat yang tidak diketahui orang atau berubah pada posisi invisible untuk sejenak.

     Sayangnya, keadaan semacam ini seringkali dianggap sebagai indikasi "menyerah" terhadap hidup. Padahal, kita hanya merasa lelah. Bukan menyerah. Sekelumit harapan pun sebenarnya masih ada, sehingga semangat untuk terus bertahan dalam kesulitan masih berkobar. Alasannya? Setiap orang tentu punya alasan tersendiri yang mampu membuatnya untuk terus berdiri dalam kesulitan. Jadi,

"Apa yang kau pikirkan hingga bisa membuatmu bertahan melewati kesulitan hari ini?"

Senin, 19 Juli 2021

Review Buku: Jika Kucing Lenyap dari Dunia oleh Genki Kawamura

"Kalau kau menginginkan sesuatu, maka kau harus mengorbankan sesuatu" 

      Jika Kucing Lenyap dari Dunia, salah satu buku fiksi yang aku baca bulan ini. Kalau dilihat dari judulnya, seolah kita akan diminta untuk membayangkan sudut pandang lain atas ketidakberadaan kucing. Banyak sekali manusia pecinta kucing, jadi rasanya akan menyedihkan kalau misal kucing benar-benar lenyap.