Review Ikan Kecil dari Ossy Firstan

by - Februari 10, 2023

Setiap anak punya ceritanya sendiri.

      Meskipun di tengah riuhnya kampanye "child-free", memiliki anak masih menjadi salah satu harapan sebagian besar pasangan yang sudah menikah. Banyak pasangan yang berjuang dan menjalankan program hamil berdasarkan instruksi dokter. Akan tetapi, bagaimana kalau anak yang lahir ternyata "istimewa"?

     Novel Ikan Kecil dari Ossy Firstan memberikan gambaran perjuangan orangtua demi seorang anak. Mulai dari kehamilan yang ditunggu selama hampir 4 tahun setelah pernikahannya, hingga perjuangan ketika menerima fakta bahwa anaknya harus "berbeda" dengan anak pada umumnya.

Review Buku Ikan Kecil dari Ossy Firstan
Ikan Kecil dari Ossy Firstan

Sinopsis Ikan Kecil dari Ossy Firstan

     Ini kisah tentang Deas dan Celoisa. Setelah sering ditanyain "kapan menikah?", pertanyaan lanjutan "kapan punya anak?" juga mulai bermunculan di acara kumpul keluarga besarnya. Bahkan ketika hamil pun, komentar nyinyir masih bermunculan. Sampai mereka hampir kebal.

     Setelah Celoisa melahirkan, nyinyiran terhadapnya mulai berkurang. Akan tetapi, pertanyaan mengganggu kembali muncul ketika Olei, bayi laki-laki mereka, memasuki usia 1 tahun lebih. Olei memang tumbuh dengan sehat, tampan, dan lincah dengan fokus yang cukup tinggi. Sayangnya, di umur 21 bulan, dia belum bisa meraban atau berceloteh seperti anak seusianya. Bahkan tertawa pun hanya terdengar lirih. Ada apa dengan Olei?

     Bagaikan tertimpa gempuran paku, pasca konsultasi ke psikiater anak, Deas dan Celoisa harus menerima fakta bahwa Olei mengalami spektrum autis. Dari sekian anak, kenapa harus Olei?, pikir mereka.

     Deas sudah mulai menerima fakta yang dialami Olei, sementara Celoisa terus menerus meratap dan denial dengan realita hidupnya. Bahkan sehabis konsultasi tersebut, Celoisa lebih sering menjaga jarak dan membatasi interaksi dengan Olei. Alasannya dia merasa bersalah karena tidak menjaga diri sewaktu hamil Olei. Deas yang geram pun mulai berkata:

Kamu yang merasa tidak pantas menjadi ibu Olei. atau Olei tidak pantas menjadi anak kamu?

     Demi menyadarkan Celoisa, Deas mulai menjalankan berbagai jurus, dan mencekoki Celoisa rangkuman jurnal serta film tentang autis. Di satu sisi, Deas harus meluangkan waktu untuk mengantar Olei terapi sendirian. Sebab Celoisa masih enggan menemaninya.

     Namun seiring berjalannya waktu, Celoisa mulai menerima keadaan Olei lewat suatu peristiwa. Peristiwa apakah itu? Bagaimana perkembangan Olei selanjutnya? Bagaimana strategi orangtua Olei dalam mendidik Olei yang "berbeda"?

 Kesan terhadap Buku

Apa itu normal? Apakah "berbeda" itu selalu buruk?

     Dapat dibilang, ini adalah salah satu metropop paling informatif yang aku baca hingga saat ini. Isinya tidak melulu membahas tentang kisah cinta, hiburan atau drama, melainkan juga membahas tentang parenting serta pengetahuan tentang autis.

     Setelah menelusuri profil penulis, ternyata dia adalah seorang dosen Pendidikan Luar Biasa, pantas aja dia bisa menjelaskan dengan cukup detail mengenai autis, cara penanganan dan parenting khusus anak autis.

     Dari segi cerita, kisah yang diangkat cukup berbeda dengan metropop pada umumnya. Yakni tentang orangtua yang berjuang untuk putranya yang mengalami autis

     Deas dan Celoisa sendiri harus menerima keadaan bahwa putranya ini "berbeda" dengan orang lain. Di samping mereka harus kuat menghadapi nyinyiran orang lain, keduanya juga harus sabar mendidik Olei dan telaten membawanya terapi ke dokter.

     Mungkin di luar sana ada beberapa orangtua yang dianggap Allah sebagai orangtua kuat, sehingga mereka harus mengalami hal demikian. Sayangnya, tidak semua orang bisa langsung tanggap tentang penanganannya. Saking minimnya pengetahuan tentang autis. Banyak yang mengira, autis disebabkan karena salah asuhan, atau fenomena "kutukan" yang tidak ada jalan keluarnya. Padahal, autis terjadi karena ada yang berbeda di otak seseorang.

     Karakter Deas di sini merupakan gambaran kepala keluarga yang tangguh. Yang tidak boleh denial berlama-lama dengan keadaan Olei, melainkan fokus ke masa depan demi perkembangan Olei. Tak hanya harus sabar menghadapi Olei, Deas juga harus sabar menghadapi istrinya yang terus-terusan meratap.

     Sementara Celoisa di sini digambarkan sebagai sosok yang cukup rapuh, karena dia terus-terusan menyalahkan dirinya dan takut menghadapi Olei. Cukup realistis, di mana orang yang berada di posisi dia, pasti akan memiliki percakapan otak yang rumit. Menyesal, takut ini, takut itu, dan semacamnya. Proses Celoisa untuk sadar pun cukup diperlihatkan secara bertahap.

     Yang menjadi kelebihan buku ini, sudah jelas buku ini sangat informatif terkait wawasan mengenai autis, disabilitas, dan parenting. Pesan yang disampaikan secara tersirat pun mudah untuk ditangkap, karena disisipi humor ringan. Serta reaksi tokoh yang diciptakan pun terkesan alami, seperti melihat kisah ini ada di depan mata.

     Misalnya aku sendiri baru tahu, kalau bayi yang telat bicara, ada "senam khusus mulut" untuknya. Kemudian, aku juga baru tau kalau anak autis harus menjalani "diet", dengan menghindari atau mengurangi jenis makanan tertentu.

     Tak hanya itu, di sini aku juga baru tau bahwa autis itu tidak ada penyebab khusus. Melainkan berupa kemungkinan-kemungkinan tertentu, misalnya ibu yang mengalami pendarahan saat hamil, ibu yang kecapekan, kelahiran prematur, dan bisa juga karena faktor gen bawaan bapaknya. Jadi dokter pun belum tentu tahu pasti jawabannya.

     Dari buku ini, aku juga tau bahwa anak laki-laki lebih besar risikonya dalam mengalami autis. Terutama anak pertama. Dan semakin cepat ditangani, lebih baik. Jadi biasanya, anak autis permasalahan utamanya ada di perilaku dan komunikasi. Kalau ada balita yang bermasalah di sini, lebih baik memang segera datang ke dokter anak. Pokoknya banyak deh ilmunya.

     Selain itu kelebihan lain dari buku ini adalah tokoh-tokohnya yang mengesankan, terutama Olei. Aku merasa melihatnya langsung, bahkan ikutan sedih ketika ibunya menjaga jarak dengannya. Olei di sini dideskripsikan dengan baik, mulai dari kondisi fisiknya, reaksi dia terhadap sesuatu, bahkan perilakunya. Intinya, aku ikutan terharu melihat perjuangan Olei dan orangtuanya.

     Perjuangan Deas di sini juga bisa dijadikan contoh untuk orangtua di luar sana, semisal, dia yang tanggap dengan "perbedaan" pada Olei duluan (bahkan sampai banting barang untuk nge-test Olei). Dia yang lebih fokus ke solusi dengan mencatat perkembangan Olei serta mengajaknya melukis untuk melatih kemampuan Olei lainnya. Serta dia yang membelikan buku resep ke mertua dan istrinya, terkait makanan khusus untuk Olei. 

     Sementara untuk kekurangannya adalah adanya repetisi percakapan kurang penting. Jadi ibaratnya, percakapan 3 lembar, sebenarnya bisa dijadikan 1 lembar. Meski demikian, bagian ini tidak terlalu mengganggu, kecuali kamu adalah orang yang "gak sabaran" dengan percakapan berbelit-belit.

     Secara umum, aku sangat suka dengan buku ini. Bahkan sampai sekarang, gambaran Olei masih melekat. Ada perasaan hangat juga ketika melihat perkembangan Olei sedikit demi sedikit. Serta perasaan gemas ketika Olei tantrum.

     Buku ini mungkin bisa dijadikan "pintu" awal untuk para orangtua dan calon orangtua dalam menghadapi parenting anak, terutama anak berkebutuhan khusus. Dapat dijadikan inspirasi pula bagi orangtua yang mengalami hal serupa, atau inspirasi bagi banyak orang untuk tetap tumbuh.

     Semoga, Olei-Olei di luar sana senantiasa diberikan kekuatan untuk terus berkembang. Dan juga semoga untuk orangtua yang memiliki anak seperti Olei, senantiasa diberikan ketabahan dan kesabaran untuk mendidik anaknya menjadi versi terbaik mereka.

     Sebelum mengakhiri ulasan ini, aku ingin menuliskan beberapa kutipan menarik dari buku ini:

Kadang kita harus berhenti menyalahkan dan lihat ke depan, Loi. Untuk apa ngungkit-ngungkit sebab kalau itu bikin apa yang bisa kita perbaiki terbengkalai- Deas.

 Aku percaya kok Olei akan tumbuh, berkembang dan bersinar dengan caranya sendiri. Berbeda bukan berarti nggak bisa kan?

Autis bukan skizofrenia dan bukan salah asuhan. Melainkan karena ada sesuatu yang berbeda di otak mereka.

Nggak semua hal di dunia ini kita harus bisa. Ada yang kita nggak bisa, orang lain bisa. Dan sebaliknya.

Mereka yang dianggap kekurangan bisa berbakat, karena orang di sekitarnya fokus mengembangkan potensi yang ada, bukan meratapi saja.

     Demikian ulasan Ikan Kecil dari Ossy Firstan, terima kasih bagi yang udah baca sampai selesai. Happy reading!

You May Also Like

0 comments