Tampilkan postingan dengan label Opini Rita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Rita. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 April 2023

Renungan Ramadhan: Menuju Ibadah Secara Esensial, bukan Sekadar RItual

     Islam itu indah.

Kalau kita membaca tata aturan yang diberlakukan dalam islam, entah itu yang berasal dari Al-Quran maupun Hadist, pasti tujuannya adalah mengajak kebaikan dan memperkuat kepercayaan serta kecintaan kita terhadap Sang Pencipta.

Tapi kenapa masih ada golongan fanatik yang suka bikin repot dengan terornya?

     Sebenarnya aku sendiri juga tidak terlalu paham terkait ini. Ditakutkan kalau salah jawab, ujungnya malah menghakimi. Tapi yang aku tau, jika ada umat islam yang belum bisa memberikan "manfaat" kepada sesama manusia, itu artinya mereka masih sekadar menganut islam secara ritual, bukan esensial.

     Beribadah secara ritual di sini maksudnya adalah beribadah untuk diri sendiri. Hanya mementingkan pahala dan keselamatan diri sendiri, tanpa peduli dengan keberadaan dan nasib saudara sesamanya. Dapat dibilang, ini adalah bentuk "egois" dalam beribadah. Dan sayangnya, aku sendiri masih sering demikian.

     Contoh egois dalam beribadah itu gimana?

     Misalnya, kita shalat dan berpuasa memang hal yang wajib. Tapi apa yang bisa kita dapatkan dari ibadah tersebut? Apakah sekadar menjalankan ritual harian agar "tidak masuk neraka" dan mendapat pahala? Atau kita sudah mendapatkan makna terkait ibadah tersebut?

     Dalam Al-Quran tertulis, bahwa manusia adalah khalifah di bumi. Yang artinya, seorang khalifah memiliki tugas tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga sesama manusia. Termasuk peduli dengan manusia lain dalam hal kebaikan.

     Tugas manusia di dunia ini memang beribadah kepada Allah. Tapi, semisal ketika saudara kita sedang mengalami kesulitan sehingga menghambat dirinya untuk beribadah, apakah kita sebagai manusia akan tetap "menutup mata" dan fokus ke diri sendiri? Jangan lupakan hablum minannas, yakni hubungan kita dengan sesama manusia.

     Aku pernah dengar kutipan, yang intinya bilang gini: "kalau kita beribadah tapi tetap close-minded, itu berarti kita beribadah bukan karena Allah, melainkan hanya untuk ego semata".

Begitu juga dalam hal mengingatkan sesama. Kita mungkin punya niat memberi nasihat ke sesama manusia, agar dia bisa berubah ke arah yang lebih baik. Atau mungkin lebih gampangnya disebut dakwah.

     Jika kita ingin mengingatkan orang lain, bangun dulu hubungan baik dengan mereka. Connection before correction. Jangan ujug-ujug menegur tanpa mengenal atau paham tentang karakteristik orang tersebut. Meskipun tujuannya baik, apabila ada unsur paksaan juga orang akan merasa tidak nyaman.

     Ingat, Nabi Muhammad SAW aja waktu berdakwah dulu dengan cara lembut. Menyentuh hati "para calon umat" agar mereka merasa nyaman dengan ketulusan Beliau.

     Oleh karena itu, mari kita mulai belajar untuk beribadah secara esensial, yakni ibadah yang bisa memberi manfaat baik kepada manusia lain. Bukan sekadar ritual yang hanya dilakukan demi ego sendiri.

Senin, 03 April 2023

Mengapa Manusia Mudah Terkena Adu Domba Agama dan Politik?

     Dari dulu selalu berpikir, kenapa setiap ada narasi yang membawa agama atau politik, orang-orang dengan mudahnya terpecah belah dan kena adu domba. Sebagai contoh adalah setiap mendekati event pemilu Presiden, selalu aja terpecah menjadi beberapa kubu. Parahnya, golongan yang saling kontra akan saling menjelek-jelekkan, dan tak sedikit fitnah bertebaran demi mengotori setiap calon Presiden.

Apa saja alasan yang biasanya melatarbelakangi orang-orang condong ke satu kubu?

     Macam-macam. Ada yang mengkaitkannya dengan nilai agama, semisal "calon A didukung oleh ormas Y, jadi kita sebagai golongan ormas Y harus memilih calon A". Ada juga yang memilih karena pandangan politik masing-masing calon. Misal, "calon B pandangan politiknya cenderung libertarian, jadi aku pilih dia karena aku pengen negara ini lebih "bebas" dan terbuka".

     Karena perbedaan kubu ini, tak jarang tensi hubungan antara orang-orang yang berbeda pilihan bisa semakin tegang. Kawan bisa jadi lawan hanya karena beda pilihan. Ini baru dalam lingkup politik, belum perbedaan pandangan dalam beragama.

     Dalam beragama sendiri, sebut saja muslim (karena aku seorang muslim), seringkali aku melihat beberapa golongan punya tata aturan ibadah yang berbeda, mulai dari bacaan shalat, serta syarat batal wudhu pun bisa berbeda tiap madzhab. Kadang, perbedaan ini bisa menjadikan perpecahan dalam agama Islam sendiri. Di mana, masing-masing golongan merasa aturannya paling benar.

     Belum lagi kalau sudah dihadapkan dengan agama lain. Sudah pasti tiap agama merasa bahwa ajarannya paling benar dan ideal. Tak jarang antar agama "meremehkan" ritual yang dijalani orang lain.

 Nah, balik lagi ke pertanyaan:

Mengapa manusia bisa terpecah belah karena agama dan politik?

    Dalam buku Daniel Kahneman yang berjudul Think, Fast, Slow, manusia pada umumnya memiliki 2 sistem berpikir. Sistem pertama, cenderung mengarah ke intusi, di mana sistem 1 ini berasal dari pikiran bawah sadar manusia. Biasanya sistem 1 ini ada, karena pengalaman, pola pikir lingkungan tempat dia berada, serta kepercayaan yang dia pegang.

     Sementara sistem 2 cenderung mengarah ke nalar, di mana sistem 2 inilah yang sering kita sebut dengan berpikir kritis. Karena sifatnya mengolah data yang diterima serta menelusuri berbagai kemungkinan, sistem 2 memang cenderung lebih effort, karena ada banyak proses yang harus dilalui. Oleh karena itu, manusia punya kecenderungan untuk menggunakan sistem 1 terlebih dahulu, baru sistem 2. Dengan kata lain, manusia berpikir dengan intuisi dulu, baru nalar. Terutama jika dihadapkan dengan topik yang berkaitan dengan prinsip dan kepercayaan.

     Sebagaimana tulisan Jung yang berjudul "Diri yang Tidak Ditemukan" (Undiscovered Self), manusia pada umumnya mudah disetir dengan dua kekuatan besar, yakni agama dan negara. Agama di sini sudah jelas menyangkut kepercayaan, di mana sebagian besar bukti yang disuguhkan bersifat abstrak. Sementara negara atau politik menyangkut dengan mimpi dan harapan, sehingga apabila disuguhi doktrin atau tata aturan yang mengatasnamakan mimpi dan harapan, biasanya manusia akan dengan mudah percaya, terutama jika dikemas dengan prinsip dan pandangan yang mereka pegang.

     Kembali lagi dengan pertanyaan, mengapa manusia mudah terkena adu domba agama dan politik? Dapat dilihat dari penjabaran sebelumnya, hal ini dikarenakan agama dan politik telah merasuki sisi bawah sadar manusia, sebab kedua hal ini berkaitan dengan kepercayaan dan prinsip.  Apalagi, biasanya agama dan politik selalu saja memiliki massa yang besar. Dan tentu saja, jika berkaca pada realita, masih banyak orang yang beranggapan bahwa: jika banyak yang mengikuti, berarti itu benar. Tak hanya itu, agama dan politik biasanya dengan gencar "mengkampanyekan" pengabdian dan kesetiaan. Kalau kita "manut" petinggi, itu adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan terhadap kepercayaan. Gimana nggak tergiur untuk menjadi sosok yang dianggap setia? 

     Jadi, jika sekelompok manusia berhenti berpikir pada sistem 1 tanpa mempertimbangkan sistem 2, atau singkatnya hanya percaya pada intuisi dan "katanya", akan mudah untuk terlibat dalam kegiatan fanatisme yang memecah belah golongan. Makanya, kita sering mendengar, "orang kok mikirnya pendek", itu artinya dia hanya menggunakan sistem 1 dalam mengeluarkan suatu argumen atau keputusan.

     Akan tetapi, ketika kita mulai menggunakan nalar untuk berpikir kritis, harus diterapkan sesuai porsinya. Karena tetep, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Gunakan nalar dengan bijaksana tanpa berupaya melawan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Biar bagaimana pun, nalar dan kebijaksanaan itulah yang diperlukan dalam kehidupan ini.

Rabu, 22 Maret 2023

Book Buying Ban, Apakah Perlu?



      Book Buying Ban cukup sering "dikampanyekan" di lingkungan pecinta buku, yakni sebuah upaya untuk "berpuasa" beli buku dalam beberapa waktu. Hal ini dikarenakan, banyak pecinta buku yang kalau beli buku bisa kebablasan banyak. Meskipun masih ada buku yang belum dibaca (bahkan masih tersegel). Alhasil, to be read jadi semakin bertambah, yang entah mau dibaca kapan. Kesannya jadi seperti menimbun.

     Aku sendiri termasuk orang yang dulunya suka membeli buku banyak. Apalagi kalau ada diskon, rasanya "nggak mau kelewatan", soalnya selalu mikir, kapan lagi coba diskon gini? Masalahnya, makin banyak timbunan buku, makin bingung mau ditaruh mana lagi. Dan penggunaan uang semakin boros juga.

     Apakah untuk mengurangi jumlah pembelian buku aku pakai metode book buying ban? Jujur, aku sendiri belum pernah pakai itu. Tapi cara yang aku gunakan untuk mengontrol penggunaan buku adalah dengan mengatur kontrol diriku. Di antaranya: tidak terlalu sering lihat rekomendasi teman-teman pecinta buku di Instagram atau Twitter jika belum perlu bacaan baru.

     Kalaupun misal ada rekomendasi menarik, aku selalu riset berulang kali dengan baca-baca review orang di Goodreads atau blog orang lain. Biasanya, aku selalu nyari tau "sisi negatif" buku ini berdasarkan review orang-orang dulu dengan cek opini mereka yang ngasih bintang 1-3. Jadi bisa memperkirakan, dengan sisi negatif gini, kira-kira bisa aku terima nggak ya bukunya? Kalau masih pengen baca juga, baru deh masuk pertimbangan.

     Selain itu, aku juga mencoba beralih ke bacaan digital. Bacaan digital ini bener-bener bantu buat ngurangin jumlah buku yang aku beli. Dengan banyaknya perpustakaan digital gratis semacam iPusnas, iBI, Ruang Buku Kominfo, atau kalau buku-buku luar bisa di British Library Council, ternyata koleksi mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan membacaku sekarang. Apalagi memang ada beberapa jenis buku yang cuma pengen aku baca, tapi nggak mau dimiliki fisiknya.

     Lalu, ketika ada diskon buku besar-besaran. Nah, biasanya aku hanya akan fokus di wishlistku saja. Itu pun kalau semisal wishlist yang aku cari tidak ada di perpustakaan digital, biasanya baru deh beli fisiknya. Jadi kalau wishlist yang aku pengen tidak ada di agenda diskon tersebut, ya nggak akan tergoda, mau sebesar apapun diskonnya.

     Intinya, harus lebih mindfull dengan apa yang akan dilakukan. Seperti kalau lagi "tergoda" sama suatu buku, selalu bertanya dalam diri: di perpustakaan digital ada nggak ya? aku butuh buku ini beneran nggak ya? kapan kira-kira aku bakal baca buku ini? begitu seterusnya, sampai beneran yakin.

     Balik lagi ke Book Buying Ban atau BBB, apakah perlu? Kalau menurutku, selama kita bisa kontrol diri dan beneran paham dengan buku apa yang kita butuhkan, sepertinya tidak perlu. Soalnya aku selalu mikir, kalau misal ngelakuin BBB di rentang Januari-Maret. Tapi ternyata pas bulan itu, buku yang lagi dibutuhin sedang diskon besar, rasanya malah jadi terus kepikiran, dan bisa ganggu kegiatan lainnya.

Jumat, 24 Februari 2023

Tentang Kesuksesan, Privilege dan Kerja Keras

      Akhir-akhir ini sering banget denger perdebatan antara privilege vs non privilege, di mana orang yang merasa dirinya tidak punya privilege, merasa dirinya sulit untuk sukses dibanding yang punya privilege. Sementara yang privilege sebagian malah menganggap bahwa orang-orang non privilege itu kurang kerja keras, sehingga nggak sesukses mereka.

     Oke, sebelum bahas ke tulisan selanjutnya, aku ingin membatasi definisi sukses yang sering dijadikan bahan perdebatan yang aku temui. Kesuksesan di sini adalah pencapaian prestasi luar biasa, entah itu dalam lingkup karir, finansial atau pun akademik. Misal, naik jabatan di usia muda, atau menjadi milyarder di usia di bawah 30 tahun, serta berhasil lolos di kampus top dunia semacam, Harvard, MIT dan Stanford.