Mengapa Manusia Mudah Terkena Adu Domba Agama dan Politik?

by - April 03, 2023

     Dari dulu selalu berpikir, kenapa setiap ada narasi yang membawa agama atau politik, orang-orang dengan mudahnya terpecah belah dan kena adu domba. Sebagai contoh adalah setiap mendekati event pemilu Presiden, selalu aja terpecah menjadi beberapa kubu. Parahnya, golongan yang saling kontra akan saling menjelek-jelekkan, dan tak sedikit fitnah bertebaran demi mengotori setiap calon Presiden.

Apa saja alasan yang biasanya melatarbelakangi orang-orang condong ke satu kubu?

     Macam-macam. Ada yang mengkaitkannya dengan nilai agama, semisal "calon A didukung oleh ormas Y, jadi kita sebagai golongan ormas Y harus memilih calon A". Ada juga yang memilih karena pandangan politik masing-masing calon. Misal, "calon B pandangan politiknya cenderung libertarian, jadi aku pilih dia karena aku pengen negara ini lebih "bebas" dan terbuka".

     Karena perbedaan kubu ini, tak jarang tensi hubungan antara orang-orang yang berbeda pilihan bisa semakin tegang. Kawan bisa jadi lawan hanya karena beda pilihan. Ini baru dalam lingkup politik, belum perbedaan pandangan dalam beragama.

     Dalam beragama sendiri, sebut saja muslim (karena aku seorang muslim), seringkali aku melihat beberapa golongan punya tata aturan ibadah yang berbeda, mulai dari bacaan shalat, serta syarat batal wudhu pun bisa berbeda tiap madzhab. Kadang, perbedaan ini bisa menjadikan perpecahan dalam agama Islam sendiri. Di mana, masing-masing golongan merasa aturannya paling benar.

     Belum lagi kalau sudah dihadapkan dengan agama lain. Sudah pasti tiap agama merasa bahwa ajarannya paling benar dan ideal. Tak jarang antar agama "meremehkan" ritual yang dijalani orang lain.

 Nah, balik lagi ke pertanyaan:

Mengapa manusia bisa terpecah belah karena agama dan politik?

    Dalam buku Daniel Kahneman yang berjudul Think, Fast, Slow, manusia pada umumnya memiliki 2 sistem berpikir. Sistem pertama, cenderung mengarah ke intusi, di mana sistem 1 ini berasal dari pikiran bawah sadar manusia. Biasanya sistem 1 ini ada, karena pengalaman, pola pikir lingkungan tempat dia berada, serta kepercayaan yang dia pegang.

     Sementara sistem 2 cenderung mengarah ke nalar, di mana sistem 2 inilah yang sering kita sebut dengan berpikir kritis. Karena sifatnya mengolah data yang diterima serta menelusuri berbagai kemungkinan, sistem 2 memang cenderung lebih effort, karena ada banyak proses yang harus dilalui. Oleh karena itu, manusia punya kecenderungan untuk menggunakan sistem 1 terlebih dahulu, baru sistem 2. Dengan kata lain, manusia berpikir dengan intuisi dulu, baru nalar. Terutama jika dihadapkan dengan topik yang berkaitan dengan prinsip dan kepercayaan.

     Sebagaimana tulisan Jung yang berjudul "Diri yang Tidak Ditemukan" (Undiscovered Self), manusia pada umumnya mudah disetir dengan dua kekuatan besar, yakni agama dan negara. Agama di sini sudah jelas menyangkut kepercayaan, di mana sebagian besar bukti yang disuguhkan bersifat abstrak. Sementara negara atau politik menyangkut dengan mimpi dan harapan, sehingga apabila disuguhi doktrin atau tata aturan yang mengatasnamakan mimpi dan harapan, biasanya manusia akan dengan mudah percaya, terutama jika dikemas dengan prinsip dan pandangan yang mereka pegang.

     Kembali lagi dengan pertanyaan, mengapa manusia mudah terkena adu domba agama dan politik? Dapat dilihat dari penjabaran sebelumnya, hal ini dikarenakan agama dan politik telah merasuki sisi bawah sadar manusia, sebab kedua hal ini berkaitan dengan kepercayaan dan prinsip.  Apalagi, biasanya agama dan politik selalu saja memiliki massa yang besar. Dan tentu saja, jika berkaca pada realita, masih banyak orang yang beranggapan bahwa: jika banyak yang mengikuti, berarti itu benar. Tak hanya itu, agama dan politik biasanya dengan gencar "mengkampanyekan" pengabdian dan kesetiaan. Kalau kita "manut" petinggi, itu adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan terhadap kepercayaan. Gimana nggak tergiur untuk menjadi sosok yang dianggap setia? 

     Jadi, jika sekelompok manusia berhenti berpikir pada sistem 1 tanpa mempertimbangkan sistem 2, atau singkatnya hanya percaya pada intuisi dan "katanya", akan mudah untuk terlibat dalam kegiatan fanatisme yang memecah belah golongan. Makanya, kita sering mendengar, "orang kok mikirnya pendek", itu artinya dia hanya menggunakan sistem 1 dalam mengeluarkan suatu argumen atau keputusan.

     Akan tetapi, ketika kita mulai menggunakan nalar untuk berpikir kritis, harus diterapkan sesuai porsinya. Karena tetep, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Gunakan nalar dengan bijaksana tanpa berupaya melawan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Biar bagaimana pun, nalar dan kebijaksanaan itulah yang diperlukan dalam kehidupan ini.

You May Also Like

0 comments