Tentang Kesuksesan, Privilege dan Kerja Keras

by - Februari 24, 2023

      Akhir-akhir ini sering banget denger perdebatan antara privilege vs non privilege, di mana orang yang merasa dirinya tidak punya privilege, merasa dirinya sulit untuk sukses dibanding yang punya privilege. Sementara yang privilege sebagian malah menganggap bahwa orang-orang non privilege itu kurang kerja keras, sehingga nggak sesukses mereka.

     Oke, sebelum bahas ke tulisan selanjutnya, aku ingin membatasi definisi sukses yang sering dijadikan bahan perdebatan yang aku temui. Kesuksesan di sini adalah pencapaian prestasi luar biasa, entah itu dalam lingkup karir, finansial atau pun akademik. Misal, naik jabatan di usia muda, atau menjadi milyarder di usia di bawah 30 tahun, serta berhasil lolos di kampus top dunia semacam, Harvard, MIT dan Stanford.

     Contoh orang sukses yang dimaksud di sini, seperti Maudy Ayunda yang berhasil lulus dari Stanford dan menjadi selebriti multi-talenta. Ada juga Jerome Polin, yang sukses mendapatkan beasiswa di Jepang serta meraih penghargaan Forbes under 30. Juga Belva Devara, pendiri Ruang Guru yang berhasil belajar di kampus-kampus top dunia (NTU, MIT, Harvard, Stanford dan Yale).

     Setelah disebutkan beberapa sosok "sukses" di atas, mungkin ada yang bertanya-tanya:

Kalau mereka bisa, kenapa banyak yang nggak bisa?

     Untuk mencapai sukses, proses yang dialami seseorang berbeda. Orang yang berasal dari latar belakang yang berprivilege, kemungkinan untuk sukses tentu saja lebih besar. Privilege di sini bukan hanya seputar kondisi finansial orangtua, melainkan keluarga harmonis, keluarga yang berpikiran terbuka dan mendukung mimpi anaknya juga merupakan contoh privilege.



     Bicara tentang privilege, faktanya memang ada orang yang dilahirkan untuk sukses. Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell memberikan contoh dari kilas balik Bill Gates, sosok konglomerat pemilik Microsoft. Bill Gates sendiri memang sosok yang ditakdirkan untuk sukses. Mau uraiannya?

     Pertama, Gates lahir di tahun 1955, di mana di usia remajanya, diperkirakan teknologi sedang mengalami perkembangan besar-besaran. Orangtuanya juga bukan orang sembarangan, selain kaya, mereka juga berpendidikan. Alhasil, hasil didikan keduanya berhasil membuat Gates punya rasa ingin tahu tinggi. Dan rasa ingin tahu tinggi ini juga didukung dengan kemampuan orangtuanya untuk menyekolahkannya di sekolah terbaik pada masanya.

     Di sekolah terbaik ini dia punya lingkup pertemanan yang sama-sama berambisi. Di sekolah ini juga fasilitas komputer sudah ada. Bersama teman-temannya, Gates "mengutak atik" komputer tersebut. Tak sampai itu, dia juga berhasil dapat akses komputer yang lebih canggih di suatu universitas. Dari sinilah asal mula microsoft mulai tercipta.

     Bill Gates memang bekerja keras habis-habisan, tapi bukan berarti faktor pendukung lain itu bisa diabaikan. Seandainya Gates bukan berasal dari latar belakang demikian, belum tentu sukses seperti sekarang.

     Di satu sisi, kita mengenal istilah kemiskinan struktural. Suatu fenomena tentang kemiskinan yang terwariskan dari orangtua ke anak karena suatu keadaan. Contohnya gimana?

     Fitri adalah murid yang rajin dan pintar di sekolahnya. Tapi sayangnya, keluarganya bukan orang berada dan tidak harmonis. Mimpi Fitri sangat tinggi, tapi sangat dibatasi dengan beberapa hal. Misalnya, ketika Fitri harus belajar, orangtuanya bertengkar dan menyuruhnya melakukan beberapa pekerjaan. Dan ketika Fitri ingin kuliah, orangtua melarangnya, karena mereka menyuruh Fitri bekerja untuk membantu perekonomian mereka.

     Apakah Fitri kurang kerja keras? Belum tentu. Kalau pun sudah bekerja keras, dia tetap harus menghadapi tantangan lain dari keadaan finansial dan paksaan orangtuanya untuk bekerja. Jadi kalau diuraikan permasalahan Fitri adalah sebagai berikut:

  • Orangtuanya kurang secara finansial, sehingga fasilitas untuk belajar tidak terpenuhi.
  • Orangtuanya kurang secara finansial, sehingga Fitri harus bekerja untuk membantu mereka.
  • Orangtuanya kurang secara finansial, sehingga keduanya sering bertengkar dan tidak harmonis.
  • Orangtuanya kurang secara finansial, sehingga keduanya pesimis dan memaksa Fitri untuk mengorbankan mimpinya.
  • Orangtuanya kurang secara finansial dan dia tidak punya koneksi yang bisa membantunya.

     Fitri di sini memang hanya sosok fiksi, tapi di dunia nyata, ada banyak orang-orang yang mengalami hal serupa dengannya. Tidak didukung, terhimpit di situasi sulit, dan banyak tekanan. Mungkin keadaannya bisa sedikit berbeda kalau orangtua Fitri mendukung dan tidak memaksanya untuk bekerja. Tapi kenyataannya, ada banyak anak-anak selepas SMA harus mengorbankan mimpinya karena tidak didukung.

     Semua orang memang bekerja keras, tapi tak dapat dipungkiri bahwa semua orang punya fasilitas dan dukungan yang sama. Kalau diibaratkan, misal kita mau lari ke suatu tempat:

  • Ada yang memakai peralatan lengkap (sepatu lari dan pelindung sendi) dan lari dengan normal.
  • Ada yang hanya memakai sepatu lari tanpa pelindung
  • Ada yang hanya menggunakan sandal jepit
  • Ada yang telanjang kaki
  • Ada yang telanjang kaki sambil bawa beban.


Dan yang tak kalah penting....

     Orang yang berasal dari lingkungan "suportif" cenderung punya beberapa opsi yang jelas terkait masa depannya. Sebagaimana dalam buku Nudge, pilihan-pilihan yang tersedia di hadapan kita merupakan dorongan yang ke depannya mampu memengaruhi perilaku kita.

     Dalam hal ini, orang yang latar belakangnya masuk "mampu" dan berpikiran terbuka, bisa punya banyak pilihan untuk masa depannya. Sementara untuk yang tidak, mereka hanya dibatasi pilihan tertentu. Entah pilihan terbatas itu karena dilandasi dengan keterbatasan finansial, atau juga terbatas karena pemikiran orang tua yang belum terbuka.

Jadi kesimpulannya....

     Kesuksesan berbanding lurus dengan tingginya privilege dan kerja keras. Orang yang punya 2 faktor penting ini memang sudah dapat dipastikan mampu mencapai prestasi tinggi.

     Tapi orang yang privilegenya biasanya aja, tentu saja masih bisa sukses. Hanya saja, kerja keras yang dilakukan harus lebih tinggi dari yang privilegenya bagus.

     Misalnya, si A (privilege bagus) dan B (privilege biasa) sedang pengen buka bisnis. Si A bekerja keras membangun produknya, dan mulai memasarkannya di jejaring milik keluarganya. Hingga produk A bisa mendapatkan kepercayaan masyarakat, sebab "jejaring" keluarganya ini memberinya testimoni bagus.

     Sementara si B, selain dia harus mengembangkan produknya, dia juga harus mencari "relasi" dari awal, untuk membantu bisnisnya berkembang. Sehingga jarak waktu menuju kepercayaan masyarakat, bisa lebih lama daripada si A.

     Intinya, ada beberapa faktor pendukung yang hanya bisa dimiliki orang berprivilege bagus. Di mana, orang biasa harus mencarinya sendiri dulu.

     Alhasil, tidak perlu membandingkan pencapaian seseorang. Sebab, titik mulainya aja udah beda kan? Lebih baik fokus dengan usaha sendiri, ketimbang iri dengan privilege orang lain.

You May Also Like

0 comments