Review Buku: Menjadi dari Afutami

by - Februari 13, 2023

    Secara umum, dalam otak manusia terbagi menjadi 2 sistem. Sistem 1 adalah sistem otomatis yang mencakup insting dan pikiran bawah sadar. Sementara sistem 2 bersifat manual yang harus "diotak atik" demi mendapatkan hasil maksimal.

   Masih bingung?

     Kalau diibaratkan kamera, sistem 1 otak merupakan kamera otomatis, yang merupakan setelan default dari sananya. Jadi ketika kita ingin mengambil gambar, kita tinggal "cekrek" dan jadilah foto itu.

     Sementara sistem 2 pada otak itu adalah kamera manual, yang pengaturan ISO, ketajaman dan keseimbangan warna harus kita atur sendiri. Agak ribet emang, tapi biasanya hasil settingan kamera manual lebih menarik daripada settingan otomatis, bukan?

     Dari sini dapat dikatakan bahwa sistem 2 pada otak itu membutuhkan usaha untuk "membangkitkannya". Sistem 2 ini biasanya sering disebut berpikir kritis. Di mana otak perlu menyusun alur-alur berpikir dan analisa, sebelum sampai ke suatu keputusan.

     Pada tulisan ini, aku tertarik untuk menulis ulasan buku Menjadi: Seni Membangun Kesadaran Tentang Diri dan Sekitar dari Afutami, yang mana, buku ini memuat tentang berpikir kritis itu sendiri.

Review Buku Menjadi dari Afutami
Buku Menjadi: Seni Membangun Tentang Diri dan Sekitar dari Afutami


Isi Buku Menjadi dari Afutami

     Pada bagian ini aku hanya menuliskan garis besar isi bukunya, bukan rangkuman atau poin-poin menarik. Untuk rangkumannya, aku akan menuliskannya di postingan lain.

     Di awal buku, kita akan diceritakan tentang pengalaman Afutami ketika dia tersesat di Jerman saat kanak-kanak. Dari situ, dia menganalisa tindakannya, yang saat itu bisa berpikir supaya bisa sampai ke rumah dengan selamat. Apakah aku menunggu ibu datang? Apakah aku pergi ke halte dan minta naik bus gratis ke kondekturnya? dan berbagai pilihan otaknya.

     Kok bisa ya dia yang kecil dulu berpikir gitu? Artinya, otak kita memang anugrah yang memang difungsikan untuk "berpikir". Nah, pertanyaannya, apakah kita sudah menggunakan otak dengan optimal dalam keseharian kita? 

     Cerita pembuka tadi merupakan studi kasus awal yang selanjutnya Afutami kulik ke dalam bukunya. Di di bab awal, dia menuliskan tentang Umbi, Serambi dan Bahari. Di bab ini, Afu membahas tentang kerangka pengetahuan dalam rangka mengembangkan kesadaran diri, memecahkan masalah dan membangun empati.

     Terkait mengembangkan kesadaran diri, Afu beranggapan bahwa kita bisa mulai dengan mengupas diri selayaknya umbi. Di mana salah satunya adalah memahami peran vs diri. Misalnya Levi adalah tentara (peran) yang berperasaan halus (karakter diri). Jadi biarpun image tentara yang biasanya tegas dan garang, bukan berarti Levi nggak boleh berperasaan halus. Soalnya peran dan diri itu beda.

     Selanjutnya tentang memecahkan masalah, kita bisa mulai dengan melihat seluruh objek masalah dari segala sudut perspektif. Di sini Afu mengibaratkan kita melihat dari balkon. Misalnya, dihadapan kita ada seekor gajah, dari depan yang kita lihat mungkin belalainya yang panjang. Tapi ketika melihat dari balkon, kita bisa melihat bentukan gajah secara keseluruhan, misal "oh ternyata punggung gajah gini" dan sebagainya.

     Kemudian tentang membangun empati. Terkadang kita sering berbeda pandangan dengan orang lain sehingga ujung-ujungnya debat dan konflik yang menyakiti satu sama lain. Di sini, Afutami menuliskan beberapa hal tentang cara menghargai perspektif orang lain. Salah satunya adalah mencari persamaan dan perbedaan. Karena, ketika ada perbedaan perspektif, bukan berarti tidak ada persamaannya bukan?

     Bagian B, berisi tentang Membuka Jendela Pikiran. Di mana pada bagian ini berisi tentang kisah-kisah yang bersifat paradoks seperti ketimpangan dan privilese, dilema antara ekonomi dan lingkungan, serta nasionalisme dan humanisme.

     Di bagian ini, kita akan melihat tentang dilema ketika kita berhadapan dengan topik tersebut. Semisal, murid berprestasi yang dibantu dengan privilese. Atau, kenapa SD "pinggiran" muridnya tidak sepintar SD pusat kota?

     Dilema lain adalah perkara ekonomi vs lingkungan. Terkadang sebagian dari kita ingin menjaga lingkungan dengan mengurangi "sampah lingkungan". Tapi masalahnya, terkadang harga produk untuk "kesehatan lingkungan" itu mahal dan kurang cocok dengan kantong kita. Mau nyalahin siapa?

     Bagian C, berjudul Bergerak dengan Kaki, yakni membahas tentang bagaimana kita mulai menerapkan apa yang telah dipelajari sebelumnya. Dalam artian, ketika kita sudah memahami tentang diri, dan mulai mengawang teori-teori dan pemikiran sebelumnya, mulai lah kita mengaplikasikannya di dunia nyata. Misal dengan mulai "awas" ketika mengambil keputusan. Pertimbangkan adanya kemungkinan "jalan buntu" di tengah jalan.


Kesan terhadap Buku

      Ketika aku mulai membaca buku ini, aku kemudian memutuskan untuk berkunjung ke Linkedin Afutami dulu. Di mana, kesan pertamaku adalah dia memang sosok yang "ambis" dan "kritis". Dengan latar belakang pendidikan yang nggak main-main (Alumni Universitas Indonesia dan Harvard, bahkan sempat pertukaran pelajar di NTU). Karir yang dilalui juga cukup mentereng, bahkan dia adalah penggagas Think Policy, wadah kolaborasi terkait kebijakan publik. Jadi menurutku, wajarlah dia membagikan pengalamannya lewat buku ini.

     Alhasil, semakin dibuat penasaran lah aku dengan bukunya yang berjudul Menjadi, yang secara umum membahas tentang berpikir kritis, terbuka dan penuh empati. Setelah membaca beberapa bagian, aku dibuat WOW, soalnya dia benar-benar menuliskan alur dan gambaran berpikir kritis dengan cara yang sangat apik dan detail.

     Dimulai dengan kelebihan buku ini, dalam menggambarkan alur berpikir kritis dan terbuka, Afutami menyantumkan beberapa referensi buku seperti Think Fast Slow, dan The Righteous Mind. Buku-buku tersebut mungkin bagi sebagian orang terasa berat, tapi di sini dia bisa menyederhanakan rangkumannya dengan ilustrasi grafis yang menarik.

     Dari sini, dia beneran langsung mempraktikan "salah satu cara berpikir kritis itu?", yakni dengan cara dia merangkum buku setebal itu, ke dalam poin-poin menarik. Jadi ibaratnya dia kayak nunjukin: gini loh salah satu bentuk latihan berpikir kritis. Aku bisa merangkum gini karena terbiasa latihan (bukan dalam artian sombong).

    Dan perlu diketahui, menulis rangkuman itu bukan hal yang mudah loh. Otak dipaksa bekerja untuk memikirkan, poin mana yang penting? gimana cara menyederhanakannya supaya pembaca bisa paham? dan sebagainya.

     Selain itu, dia juga memberikan visualisasi poin tulisannya lewat ilustrasi grafis yang menarik dan seru. Seperti bagan-bagan, diagram, gambar-gambar. Sehingga otak kita lebih mudah menangkap maksud tulisan Afutami (karena ada sebagian orang yang lebih paham ketika ada visualisasinya, ketimbang hanya rentetean tulisan). Pokoknya, buku ini niat banget lah.

     Sebagai orang yang tergolong awam dan perlu belajar lagi dalam hal berpikir kritis, buku ini beneran ngasih aku semangat buat semakin mendalami metode berpikir kritis. Salah satunya dengan kerap kali menulis ulasan buku atau rangkumannya. Karena secara nggak langsung, alur berpikirku mau nggak mau harus berjalan sistematis, dengan mengumpulkan data-data buku, menyusun kata yang bisa dipahami, serta memahami intisari penting dalam suatu buku.

     Secara nggak langsung, aku jadi terinspirasi untuk bisa membuat rangkuman-rangkuman buku yang pernah aku baca, ke dalam visualisasi yang lebih mudah dipahami. Sebagaimana yang dilakukan Afutami di buku ini.

     Dalam tulisannya, dia juga mengkaitkan dengan pengalaman hidupnya. Jadi seolah aku dibuat flashback, "kira-kira aku pernah kayak gini nggak ya?". Alhasil, aku jadi semakin paham dengan maksud tulisan dia di buku ini.

     Mengenai kekurangannya, mungkin bahasa yang digunakan masih agak kaku. Jadi kadang berasa baca buku pelajaran. Tapi hal ini tertolong dengan visualisasi yang membantu supaya pengalaman membaca jadi lebih asyik.

     Kemudian kekurangan lain menurutku adalah lay out bukunya tidak ramah kalau dibaca digital (aku membacanya di aplikasi membaca legal). Mulai dari tulisannya yang "menurutku" kurang enak dilihat lewat gadget, serta penataan paragraf dan gambar yang bikin puyeng. Jadi aku berniat untuk membeli versi fisiknya suatu saat nanti.

     Siapa yang cocok baca buku ini? Menurutku buku ini cocok dibaca buat orang-orang yang tertarik untuk mencari referensi dalam berpikir kritis dan mengaplikasikannya. Atau untuk orang-orang yang tertarik untuk menambah wawasan tentang alur berpikir kritis.

     Demikian ulasan buku dariku. Terima kasih udah membaca sampai selesai, happy reading!

You May Also Like

0 comments