Review Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki dari Baek Se Hee

by - September 27, 2021

 “Katanya mau mati, tapi kok mikirin jajanan kaki lima?”

     I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki adalah esai yang ditulis oleh Baek Se Hee sebagai orang yang mengalami distimia (depresi berkepanjangan). Selain judulnya yang menarik perhatian, konsep bukunya dapat dibilang cukup unik karena berisikan percakapan perjalanan konsultasi antara psikiater dan penulis/pasien. Sehingga kita akan diajak melihat sudut pandang penderita depresi dan juga secara tidak langsung berisi sudut pandang dari psikiater tempatnya berkonsultasi.

     Buku ini terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya sesi konsultasi berupa percakapan antara penulis dan psikiater selama masa terapi yang terdiri dari 12 minggu di mana tiap minggu tersebut telah dibuat tema-tema tersendiri oleh penulisnya, di setiap bab, penulis akan memberikan sedikit tambahan berupa buah pikiran yang didapat setelah sesi konsultasi. Setelah kumpulan bab-bab dari sesi konsultasi, terdapat penutup dari penulis, kemudian disusul dengan kata-kata dari psikiater, serta tambahan penulis yang berisi pandangannya tentang depresi.

     Di bagian awal, sebelum penulis menuliskan percakapan sesi konsultasinya, ia terlebih dahulu menuliskan sedikit tentang latar belakang hidupnya serta perasaan yang dialami terkait gejala depresi seperti pikiran yang jarang positif dan sering cemas, Yang kemudian menjadikannya memberanikan diri untuk berkonsultasi kepada ahlinya (psikiater).

     Dari sini aku mengambil pelajaran bahwa ketika pikiran atau emosi sudah mulai tidak stabil, alangkah baiknya untuk segera mengambil langkah untuk menanganinya, bukan malah membiarkan atau menganggapnya sebagai “kejadian alami”. Entah melakukan langkah awal dengan membaca buku-buku pengembangan diri atau yang berjenis self-healing, dan kalau ada rezeki lebih, bisa menyempatkan diri untuk berkonsultasi ke psikiater.

     Kembali lagi ke buku ini, dalam percakapan yang ditulis Baek Se Hee dengan psikiater, secara umum berisikan tentang keluhan penulis mengenai pikirannya. Seperti perasaan serba salah, pikiran negatif, perasaan enggan memulai interaksi karena malu dan sebagainya. Percakapan dalam buku ini ditulis apa adanya, sehingga seolah kita benar-benar melihat orang curhat yang mengalir begitu saja.

     Dengan model penulisan yang apa adanya ini, mungkin saja ada beberapa percakapan yang membuat sebagian orang risih, karena berisikan tentang pikiran-pikiran negatif seseorang. Namun inilah yang menurutku menjadikan buku ini unik, karena di sini kita akan diajak melihat dan merasakan dari sudut pandang penderita mengenai beberapa kondisi yang memungkinkan mereka melakukan hal yang cenderung negatif. Singkatnya kita bisa tahu, mengapa ada orang yang sedikit-sedikit takut atau tidak percaya diri, yang mana bagi sebagian orang mungkin terkesan mengganggu. Sebagai contoh, percakapan antara penulis dengan psikiaternya sebagai berikut:

Penulis/pasien: Obsesiku terhadap penampilan sangatlah parah. Dulu saya pernah tidak keluar rumah hanya karena hari itu saya tidak merias wajah saya.

Psikiater: Obsesi itu tidak muncul gara-gara penampilan Anda. Obsesi terhadap penampilan itu muncul karena Anda memiliki gambaran yang ideal tentang sosok diri Anda.

     Mungkin sebagian dari kita seringkali mendengar keluhan seseorang seperti di atas, atau bahkan kita sendiri pernah mengalaminya. Tapi bukan berarti kita bisa langsung mendiagnosa diri sendiri “sama dengan penulisnya”. Yang ingin aku soroti dari percakapan singkat di atas adalah bagaimana si psikiaternya memberikan jawaban yang berusaha meluruskan apa yang sebenarnya terjadi.

     Di sini kita dapat melihat bahwa apa yang menjadi permasalahan pasien, sebenarnya berasal dari pikirannya sendiri. Si psikiater bisa memberikan jawaban demikian, karena dia berada di posisi pikiran yang lebih jernih. Namun bagi pasien, tentu saja sulit untuk menelaah pikirannya sendiri, dikarenakan ia tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.

     Dikarenakan secara umum buku ini berisi percakapan konsultasi antara pasien dan psikiater, tentu saja kita akan menemukan beberapa istilah medis dalam psikologi yang mungkin bagi orang yang tidak mendalami ilmu tersebut membuatnya cukup bingung. Oleh karenanya, sebelum membaca inti bukunya, alangkah baiknya untuk membaca pengantar yang ditulis oleh dr. Jiemi Ardian untuk mempermudah pembaca memahami kondisi penderita distimia ini. Sebab, sebagian dari orang awam mungkin agak bingung dengan ciri depresi yang dihadapi oleh Baek Se Hee ini. Sehingga, dengan memahami ciri depresi dari Baek Se Hee, pembaca tidak langsung menghakimi pikiran-pikiran negatif yang ditulis dari percakapannya. Sekali lagi, karena buku ini apa adanya. Apa yang dia katakan di masa konsultasi, itulah yang dia tuliskan (meski mungkin sudah di-filter sedikit).

     Kesan  pertama yang aku rasakan ketika membaca bagian percakapan konsultasi ini: aku merasa capek karena harus membaca keluhan pasien yang memiliki pikiran negatif, di mana hal ini cukup menguras energiku. Karena jujur, aku tidak terlalu tahan membaca keluhan-keluhan yang aku sendiri tidak merasakannya. Oleh karena itu, aku sangat mengapresiasi para psikolog maupun psikiater atas pekerjaannya.

     Namun di sisi lain aku dibuat sadar, karena buku ini ditulis apa adanya dari sudut pandang penderita distimia, tentu pikirannya yang negatif ini sering muncul, dan mungkin saja dia sendiri sebenarnya enggan merasakan hal semacam itu.

     Kesan kedua yang aku rasakan: wawasanku terkait depresi semakin bertambah. Awalnya aku hanya mengetahui depresi dalam arti sempit. Seperti sering sedih tanpa sebab dan semacamnya. Padahal depresi itu sendiri benar-benar kompleks. Ada masa di mana penderita merasakan kesenangan yang luar biasa, tapi di satu sisi merasa ada sesuatu yang mengganjal.

     Sebenarnya, dalam percakapan antara pasien dan psikiater ini tidak dijelaskan secara teori mengenai istilah-istilah psikiatri. Tapi setidaknya, aku jadi sedikit memahami bahwa ada kata-kata yang bisa menjadi sangat bermakna bagi penderita. Sehingga seolah kita diajak untuk memposisikan diri juga sebagai penderita.

     Setelah percakapan dari 12 minggu, di akhir buku berisikan penutup dari penulisnya yang mulai menelusuri apa yang terjadi dengan dirinya. Tidak banyak yang dia tuliskan di sini, karena hanya memuat tentang proses pemahaman tentang dirinya setelah masa konsultasi. Selain itu juga tertulis sedikit tambahan dari psikiaternya yang sempat terkejut bahwa konsultasi ini akan dipublikasikan. Karena dia sendiri menyadari ada banyak hal yang tidak sempurna di dalamnya.

     Kemudian di bagian paling akhir, terdapat tambahan lagi dari penulis yang berjudul “dampak positif dari depresi”. Mungkin judulnya agak aneh, tapi aku pribadi sangat suka dengan tulisannya di bagian ini. Karena dia di sini menuliskan sedikit pengalaman dan beberapa penyebab dia depresi. Tak hanya itu, dia juga menuliskan pelajaran yang didapat dari proses perjalanan ketika menghadapi depresi. Di sini terlihat bahwa penulis menunjukkan adanya sedikit perubahan yang lebih baik, meskipun proses pemulihannya mungkin masih terus berlangsung.

     Lantas siapa saja yang bisa membaca buku ini? Kalau kondisi kita capek karena sedang burn out atau sumpek, aku tidak terlalu menyarankannya. Yang ada malah membuat kita semakin capek, karena percakapannya berisi ”orang mengeluh”. Tapi bagi mereka yang ingin meyakinkan diri untuk pergi ke psikiater, buku ini cocok dibaca karena memberikan gambaran apa yang akan terjadi di masa konsultasi. Dan juga bagi mereka yang ingin menambah sedikit wawasan tentang depresi, buku ini cocok untuk dijadikan awalan.

You May Also Like

0 comments