Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? dari Kim Sang-hyun

by - Juli 05, 2021


"Tidak ada orang di dunia ini yang baik-baik saja"

     Kehidupan antar manusia itu pada dasarnya adalah saling berhubungan, karena manusia sendiri adalah makhluk sosial. Hidup yang penuh perjuangan ini akan selalu membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sampai seseorang meninggalkan dunia ini pun, tetap butuh bantuan manusia lain untuk membantu mengurusi pemakaman maupun membantu memberikan doa supaya tenang di kehidupan selanjutnya.

     Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? adalah salah satu buku yang sempat menarik perhatianku beberapa waktu lalu. Sekilas dari judulnya, buku ini mungkin terlihat dingin, gelap, dan seram, karena ada kata-kata 'pemakaman', yang identik dengan kematian, sesuatu yang ditakuti banyak orang.

     Tapi, apakah beneran dingin, gelap dan seram? Nah, kali ini aku akan mengulas pemikiranku terkait buku dari Kim Sang-hyun ini. Kalau tertarik, bisa dibaca sampai selesai ya!

Isi Buku

     Secara keseluruhan, buku ini terbagi menjadi empat bab, yang pertama adalah bab tentang kesalahan, bab kedua adalah tentang hati yang hilang, bab ketiga tentang sejarah, dan bab keempat tentang kebahagiaan. Isi tiap babnya adalah esai dan cerita pengalaman yang memuat beberapa pelajaran tentang kehidupan, serta kalimat yang memberikan ketenangan pada pembacanya.

     Pada bab pertama yang berjudul Kesalahan. Secara umum bab ini membahas tentang beberapa hal yang sebenarnya cukup sering menjadi kecemasanku. Salah satunya adalah tentang perbedaan pola pikirku dengan orang lain, yang ternyata bisa merusak hubungan. Di mana kadang kala, aku sering kali merasa berada di posisi paling benar. Sebagai contoh, ketika aku berada di tempat ramai, aku seringkali merasa risih ketika ada orang yang tidak sesuai tata krama dan berlaku seenaknya. Pengennya semua orang menghilang, karena keberadaan mereka mengganggu ketenanganku. Padahal sudah sangat jelas, kalau aku juga membutuhkan mereka. Hingga akhirnya, ada pernyataan buku ini yang menyadarkanku:

"Aku jadi berpikir, jangan-jangan meski kita saling membutuhkan, kita juga adalah beban satu sama lain"

 Dari sini aku dibuat sadar, bahwa perbedaan pola pikir itu wajar, dan apa yang aku anggap benar, belum tentu dianggap demikian oleh orang lain. Bisa saja ketika aku meyakini nilai yang aku anggap benar, ternyata bagi orang lain itu adalah beban. Bab Kesalahan ini seperti mengingatkanku untuk tidak boleh selalu merasa benar dan menjudge ketika melihat orang lain melakukan sesuatu yang aku anggap "salah". Salah dan benar di sini hanyalah perkara sudut pandang, karena bisa saja aku melakukan hal yang sama ketika berada di posisi dan kondisi yang serupa.

     Kemudian bab Hati yang Hilang.  Kita semua mungkin menyadari, ketika kita sedang berada di titik terendah, rasanya seperti ada bagian dari hati yang menghilang. Hampa atau kosong, dan butuh diisi oleh sesuatu. Pada bab ini, kita akan menemui beberapa pengalaman penulis yang pernah berada di posisi gagal, sedih ataupun frustrasi. Dan di sini juga, penulis akan menyelipkan beberapa pelajaran yang dia ambil dari posisi tidak menyenangkan itu. Tentang bagaimana dia berusaha mencari kepingan yang hilang dalam hatinya.

     Pada bab ini, penulis seperti mengajak kita untuk berusaha mencari pelajaran dari setiap kegagalan maupun kesedihan kita. Mengajak kita untuk kembali merenungi ataupun mengingat kembali masa-masa sulit terdahulu, sehingga kita bisa berada di posisi sekarang. Kalau dibaca berulang-ulang, aku merasa seperti ada seorang teman yang mengajak ngobrol sembari berusaha memahami dan menemani kesedihan kita. Adapun salah satu kutipan menarik dari bab ini yang sekali lagi membantuku untuk terus positif adalah:

"Pada akhirnya, cobaan memiliki masa kadaluwarsa, kemudian berlalu"

Ya, semuanya pasti akan segera berlalu. Termasuk kesedihan manusia.

     Selanjutnya di bab ketiga yang berjudul Sejarah. Apa yang dilakukan di masa lalu maupun sekarang, akan menjadi sejarah di masa depan. Meskipun tidak semua sejarah bisa dikenang oleh semua orang. Di dalam bab ini, Kim Sang-hyun seperti mengajak kita untuk menjadi orang baik supaya suatu saat kita bisa dikenang sebagai "sejarah" baik bagi pribadi seseorang. Tunggu, yang dimaksud berbuat baik di sini bukan yang semacam 'memaksakan' seperti people pleaser. Di sini, Kim Sang-hyun mengajak kita untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain, terutama hubungan dengan orang-orang yang berarti untuk kita. Namun, di sini dia juga menekankan bahwa hubungan antar manusia itu seperti segenggam pasir. Semakin digenggam terlalu erat, akan semakin hilang. Dengan kata lain, berbuat baiklah sekadarnya, dan jangan terlalu berharap maupun bergantung kepada orang lain untuk melakukan hal serupa pada kita.

"Seperti segenggam pasir, usaha keras yang aku lakukan agar mereka tidak meninggalkanku juga akan sia-sia, hilang begitu saja"

Orang datang dan pergi, yang bisa dilakukan adalah melakukan yang terbaik untuk menjaga hubungan. Ketika mereka memutuskan untuk pergi, biarkan. Memaksakan kehendak bisa saja malah menjadikan kita sejarah buruk bagi orang lain. Karena pada dasarnya, memang ada sesuatu yang berada di luar kendali kita.

     Yang terakhir adalah bab empat, yakni Semoga itu Kebahagiaan. Sebagaimana yang sudah diketahui, bahwa kebahagiaan kita bergantung pada pola pikir. Karena segala sesuatu itu sebenarnya bersifat netral, tergantung bagaimana reaksi kita terhadap hal tersebut. Kalau kita berusaha berpikir positif, maka perasaan akan lebih membaik. Begitu juga sebaliknya. Meskipun pada praktiknya, berusaha untuk senantiasa berpikir positif itu susah.

     Kembali lagi pada isi bukunya. Di sini Kim Sang-hyun bercerita mengenai hal-hal sedih yang menghambat kebahagiaan. Dia bercerita bahwa memang ada banyak hal masa sulit yang dia hadapi semasa hidup, hingga akhirnya ada suatu masa yang membuatnya sadar dan berusaha untuk berpikiran:

"Menerima segala hal sebagai pengalaman yang baik"

     Sekali lagi, tentu saja berpikir seperti itu bukan hal yang mudah, apalagi ketika kita benar-benar berada di momen yang kurang mengenakkan. Tapi bagi Kim Sang-hyun,  hal itulah yang perlu diusahakan ketika berada di masa-masa sulit. Karena baginya, kita harus percaya bahwa akan ada hari di mana masa sulit membuahkan pengalaman yang baik. Dapat dibilang, bab ini seperti mengajak kita untuk melihat segala sesuatu dari dua sisi. Apa yang kita anggap buruk, tidak sepenuhnya buruk, dan sebaliknya.

Kesanku terhadap bukunya

     Kalau dibaca dari judulnya, buku ini memang terlihat 'dingin', karena seolah-olah mengingatkanku untuk merenungi kematian secara mendalam. Apalagi, pada kata pengantarnya, kalimat yang muncul pertama kali adalah "Kematian satu orang adalah tragedi. Kematian banyak orang adalah statistik". Baru lah ketika aku mulai membaca isi bab pertamanya kesanku berubah menjadi: wahhh ternyata berbanding terbalik dari perkiraanku

     Buku ini hangat dengan beberapa kisah dan pelajaran hidup yang dialami penulis.Pada beberapa kisah di dalamnya, ada yang memberikanku pandangan dan pengingat baru. Tanpa merasa dihakimi, maupun dinasihati. Kalau diibaratkan, buku ini seperti seorang teman yang mengajak kita bercerita dan bertukar pandangan tentang kehidupan sambil minum teh dan haha hihi. Jadi dia pun tidak merasa tulisannya itu sepenuhnya benar, karena kita memang diajak untuk merenungkannya kembali

     Dapat disimpulkan buku ini cenderung menghangatkan hati. Karena setelah membaca buku ini pun, pikiran jadi lebih positif. Dan memang, lebih baik bukunya dibaca secara perlahan. Karena seperti ketika kita sedang mendengar cerita teman, kan nggak boleh disela. Kita perlu memahami dan meresapi terlebih dahulu sebelum memberikan umpan balik atau respon.

     Terkait dengan judul yang cukup "menyeramkan", sebenarnya inti dari buku ini seperti mengajak kita untuk berbuat baik, terutama berbuat baik kepada orang-orang terdekat. Setelah baca buku ini, aku jadi punya pertanyaan yang terlintas: Sudah sebaik apa kita hingga orang-orang bersedia untuk datang ke pemakaman kita nanti? Sudah sebaik apa kita hingga orang-orang bersedia untuk mendoakan kita nantinya?

     Demikian ulasan buku dariku. Terima kasih sudah membaca 😊.

You May Also Like

0 comments